MENGENAL
EKTOPARASIT PADA HEWAN
DAN
POTENSI KERUGIAN YANG DITIMBULKANNYA
OLEH
DRH Iyan Kurniawan
Bab I
Pendahuluan
Latar Belakang
Peternakan merupakan salah
satu usaha yang menjadi penopang hidup sebagian besar masyarakat di Indonesia.
Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat indonesia yang bermata pencaharian
sebagai peternak. Proses budidaya peternakan yang ideal adalah yang mampu
menerapkan praktek manajemen peternakan integral. sering kali dijumpai
dilapangan para peternak hanya memelihara ala kadarnya sehingga peternakan
belum mampu menjadikan pelakunya sejahtera.
Parasit
adalah suatu organisme lebih kecil yang hidup menempel pada tubuh organisme
yang lebih besar yang disebut host. Parasit merupakan organisme yang
hidupnya merugikan induk semang yang ditumpanginya.Keberadaan parasit dalam
tubuh host dapat bersifat sebagai parasit
sepenuhnya dan tidak sepenuhnya sebagai parasit. Ada beberapa sifat hidup dari parasit
seperti parasit fakultatif, obligat, insidentil temporer dan permanen.
Penyebarannya di atas permukaan bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya siklus hidup, iklim, sosial budaya atau ekonomi
dan kebersihan. Biasanya hospes atau induk semang yang jadi sasarannya bisa
berupa hospes definitif (akhir), insidentil, carrier, perantara
dan hospes mekanik.
Salah satu bagian dari
manajemen peternakan adalah aspek kesehatan hewan. Lebih kecil lagi tulisan ini
akan berusaha membahas gangguan ternak yang merupakan bagian dari ektoparasit
yang masih sedikit sekali diperhatikan oleh para pelaku peternakan pada umumnya.
Salah satu ektoparasit yang memberikan dampak kerugian tetapi belum
diperhatikan adalah tungau, caplak, kutu dan pinjal. Masyarakat seringkali rancu untuk menyebut
binatang kecil yang mengganggu ternak dengan satu sebutan yaitu kutu. Padahal
terdapat kemungkinan bahwa binatang pengganggu tersebut dari kelompok yang
berbeda. Kelompok hewan yang sering menimbulkan kerancuan dalam penyebutan
adalah tungau (mite), caplak (tick), kutu (lice), dan pinjal (flea). Disini
akan dibahas mengenai keempat ektoparasit tersebut sehingga dapat memahami dan
membedakannya beserta dampak kerugiannya.
Tujuan
Tulisan ini membahas
mengenai tentang ektoparasit seperti tungau (mite), caplak (tick), kutu (lice),
dan pinjal (flea) beserta perbedaannya. Serta membahas mengenai dampak kerugian
yang bisa ditimbulkan.
Manfaat
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan
informasi yang bermanfaat bagi peternak dan masyarakat pada umumnya, sehingga dapat
meminimalisir kerugian yang ditimbulkan oleh ektoparasit.
Bab II
Materi dan Metode
Tulisan tentang Mengenal Ektoparasit Pada Hewan dan
Potensi Kerugian yang Ditimbulkan ini di susun berdasarkan studi literatur yang
terkait dan sesuai baik melalui buku maupun tulisan ilmiah lainnya yang berupa
jurnal dan artikel yang berkaitan.
Bab III
Pembahasan
III.1. Pengertian Parasit
Parasit adalah suatu organisme lebih kecil yang hidup
menempel pada tubuh organisme yang lebih besar yang disebut host. Keberadaan parasit dalam
tubuh host dapat bersifat sebagai parasit
sepenuhnya dan tidak sepenuhnya sebagai parasit. Hal tersebut tergantung dari
jumlah, jenis, tingkat kesakitan yang dapat ditimbulkan oleh parasit serta
ketahanan tubuh dan nutrisi dalam tubuh induk semangnya. Hubungan host dan parasit dapat bersifat
simbiosismutualisme, parasitis, dan parasitosis (Bowmans, 1999).
Banyak parasit memiliki siklus hidup kompleks yang memerlukan
beberapa inang untuk pertumbuhan dan reproduksi. Untuk itu, mereka telah
memperoleh banyak adaptasi unik yang dapat mengubah perilaku inang dan dengan
demikian membuat mereka lebih rentan terhadap predator mereka. Proses ini
memungkinkan transmisi dari tahap parasit dari satu inang ke yang lain.
Tergantung pada lingkungan hidup parasit, mereka dapat diklasifikasikan sebagai
endoparasit dan ektoparasit (Akoso, 1996).
III.2. Klasifikasi
Tungau, caplak, kutu dan pinjal tergabung dalam satu filum yang sama yaitu
Arthropoda. Tungau dan caplak berada dibawah satu kelas (Arachnida) dan anak
kelas yang sama yaitu Acari, namun keduanya tergolong dalam suku yang
berbeda. Caplak termasuk dalam golongan suku Ixodidae dan Argasidae
sedangkan suku yang lain disebut tungau saja (Krantz, 1978).
Bagaimana dengan posisi kutu dan pinjal dalam klasifikasi? Menurut
Borror dkk. (1996) kutu dan pinjal termasuk dalam kelas Insekta (serangga)
namun berbeda bangsa. Kutu seringkali dibagi menjadi dua bangsa yang terpisah
yaitu Mallophaga (kutu penggigit) dan Anoplura (kutu penghisap). Kutu penghisap
sering pula disebut “tuma” oleh masyarakat Indonesia. Ahli entomologi dari
Inggris, Jerman dan Australia hanya mengenali satu bangsa tunggal yaitu
Phthiráptera, dengan empat anak bangsa (salah satunya Anoplura).
Pinjal termasuk dalam bangsa Siphonaptera. Beberapa suku yang terdapat di
Indonesia antara lain Pulicidae, Ischnopsyllidae, Hystrichopsyllidae,
Pygiopsyllidae, Ceratophyllidae dan Leptosyllidae. Pinjal tikus dan kucing yang
umum ditemukan termasuk dalam Pulicidae.
III.3. Morfologi
Tungau (Mite) dan Caplak (Tick)
Tungau merupakan binatang yang sangat kecil seperti
kutu dan tidak tampak oleh mata. Tungau
adalah sekelompok hewan kecil bertungkai delapan
yang bersama-sama dengan caplak, menjadi
anggota superordo Acarina.
Sama seperti
anggota arachnida lainnya (laba-laba, kalajengking dll.), tubuh tungau dan
caplak terbagi menjadi dua bagian, yaitu: bagian depan disebut cephalothorax
(prosoma) dan bagian belakang tubuh disebut abdomen (ophistosoma).Meskipun demikian,
tidak terdapat batas yang jelas diantara dua bagian tubuh tersebut. Tungau dan
caplak dewasa mempunyai alat-alat tubuh pada arachnida seperti khelisera dan
palpus (alat sensori) yang terdapat di bagian , dan enathosoma/capitulum, dan
empat pasang kaki (Kendall, 2008).
Sebagian
besar tungau berukuran sangat kecil, memiliki panjang kurang dari 1 mm. Namun
ada pula tungau besar yang dapat mencapai panjang 7.000 µm. Pada gnathosoma
tungau terdapat epistoma, tritosternum (berfungsi dalam transport cairan
tubuh), palpus yang beruas- ruas, khelisera, corniculi, hipostoma berseta
yang masing-masing sangat beragam dalam hal bentuk dan jumlah ruasnya
tergantung pada kelompoknya.
Khelisera
pada tungau teradaptasi untuk menusuk, menghisap atau mengunyah. Tubuh
dilindungi oleh dorsal shield/scutum. Tungau memiliki stigma (alat pertukaran
O2 dan CO2) yang letaknya bervariasi yaitu di punggung dorsal, antara pangkal
kaki/ coxa 2 dan 3, di sebelah coxa ke tiga atau diantara khelisera.
Letak stigma
menjadi kunci penting untuk membedakan bangsa tungau. Caplak memiliki ukuran
lebih besar dari pada tungau. Panjang tubuh dapat mencapai 2.000-30.000 µm.
Selain ukurannya, caplak dibedakan dari tungau berdasarkan letak stigma yang
berada di bawah coxa (pangkal kaki) ke empat. Caplak juga memiliki
karakter-karakter khas tersendiri pada hipostoma memiliki ocelli/mata, tetapi
tidak memiliki epistoma, corniculi dan tritosternum. Caplak dibedakan menjadi 2
kelompok yaitu caplak berkulit keras/ hard tick (Ixodidae) dan caplak berkulit
lunak/soft tick (Argasidae) karena tidak memiliki scutum (Krantz, 1978; Evans,
1992).
Hipostoma
pada caplak merupakan suatu struktur yang terdiri dari gigi- gigi yang tersusun
teratur dan menonjol. Struktur inilah yang digunakan untuk menusuk tubuh induk
semang ketika caplak menghisap darah. Hipostoma dilindumgi oleh khelisera
(Vredevoe, 1997).
Kutu (Lice)
kutu adalah insekta yang tubuhnya pipih dorso-ventral, memiliki 6 ( 3
pasang) kaki, tidak bersayap, bersifat hospes
spesifik (hanya bisa hidup pada hospes
tertentu) dan umumnya pada tempat yang tertentu pula. Kutu dapat
dibedakan menjadi : (1) kutu penggigit (“bitting
lice”) yang kepalanya besar dan melebar, memakan epidermis kulit, remukan bulu,
sisik bulu, kerak kulit dan sedimen yang mengering dan (2) kutu penghisap (“sucking lice”) dengan bentuk kepala yang
kecil dan meruncing, makanannya adalah darah atau cairan. Dua
kelompok kutu yaitu kutu penghisap/ tuma dan kutu penggigit memiliki ciri-ciri
morfologiyang berbeda. Ukuran tubuh kutu penghisap mencapai 0,4-6,5 mm; kepala
kutu penghisap biasanya lebih sempit daripada protoraksnya; sungut beruas-ruas;
mata mereduksi dan bagian-bagian mulut haustellat. Tuma memiliki tiga stilet
penusuk (dorsal, tengah dan ventral) pada bagian mulutnya dan satu rostrum
pendek pada ujung anterior kepala (Borror dkk., 1996).
Dari tempat
itu tiga stilet penusuk dijulurkan. Stilet tersebut kira-kira panjangnya sama
dengan kepala dan apabila tidak dipakai dapat ditarik masuk ke dalam satu
struktur seperti kantung panjang di bawah saluran pencernaan. Stilet dorsal
berfungsi sebagai saluran makanan. Stilet tengah mengandung air liur dan
berfungsi sebagai hipofaring, sedangkan stilet ventral sebagai penusuk utama diperkirakan
berfungsi sebagai labium. Kaki-kaki kutu penghisap pendek dan memiliki cakar
pengait yang termodifikasi untuk melekat pada induk semang. Kutu penggigit
bertubuh pipih; berukuran tubuh 2-6 mm; bagian mulut mandibulat; mata majemuk
mereduksi; lebar kepala sama atau lebih dengan protoraksnya; tarsi beruas 2-5
dan tidak memiliki cerci (Elzinga, 1978).
Pinjal (Flea)
Pinjal
merupakan salah satu parasit yang paling sering ditemui pada hewan kesayangan
baik anjing maupun kucing. Meskipun ukurannya yang kecil dan kadang tidak
disadari pemilik hewan karena tidak menyebabkan gangguan kesehatan hewan yang
serius, namun perlu diperhatikan bahwa dalam jumlah besar kutu dapat
mengakibatkan kerusakan kulit yang parah bahkan menjadi vektor pembawa penyakit
tertentu (Anonim, 2015).
Pinjal berukuran kecil dengan panjang 1,5-3,3 mm dan
bergerak cepat. Biasanya berwarna gelap (misalnya, cokelat kemerahan untuk kutu
kucing). Pinjal merupakan serangga bersayap dengan bagian-bagian mulut seperti tabung
yang digunakan untuk menghisap darah host mereka. Kaki pinjal berukuran
panjang, sepasang kaki belakangnya digunakan untuk melompat (secara vertikal
sampai 7 inch (18 cm); horizontal 13 inch (33 cm)). Pinjal merupakan kutu
pelompat terbaik diantara kelompoknya. Tubuh pinjal bersifat lateral dikompresi
yang memudahkan mereka untuk bergerak di antara rambut-rambut atau bulu di
tubuh inang. Kulit tubuhnya keras, ditutupi oleh banyak bulu dan duri pendek
yang mengarah ke belakang, dimana bulu dan duri ini memudahkan pergerakan
mereka pada hostnya (Anonim, 2015).
III.4. Siklus Hidup
Proses
reproduksi pada tungau dan caplak bervariasi. Siklus hidup yang dijalaninya
berupa: telur-larva-nimpha-tungau/caplak dewasa. Larva tungau dan caplak hanya
memiliki 3 pasang kaki. Larva caplak, setelah makan darah induk semang, akan
tumbuh menjadi nimpha yang memiliki 4 pasang kaki. Nimpha makan darah dan akan
tumbuh menjadi caplak dewasa. Setelah makan satu kali sampai kenyang, caplak
dewasa betina akan bertelur kemudian ia mati. Caplak betina setelah kenyang
menghisap darah dapat membengkak sampai 20-30 kali ukuran semula. Caplak
memerlukan + 1 tahun untuk menyelesaikan satu siklus hidup di daerah tropis dan
lebih dari satu tahun di daerah lebih dingin (Levine,1994).
Caplak dapat
bertahan hidup selama berbulan- bulan tanpa makan jika belum mendapatkan induk
semangnya. Caplak dapat hidup pada 1-3 induk semang berbeda selama fase
pertumbuhannya sehingga dikenal dengan sebutan caplak berinduk semang satu,
berinduk semang dua dan berinduk semang tiga (Vredevoe, 1997).
Kutu
menjalani proses metamorfosa yang tidak sempurna, yaitu telur-nimpha-individu
dewasa. Seluruh siklus hidup terjadi di tubuh induk semang. Telur kutu akan
menempel pada rambut induk semang dengan bantuan zat perekat yang
dihasilkannya. Sedangkan siklus hidup yang dijalani pinjal merupakan
metamorfosa sempurna yaitu telur-larva-pupa-dewasa. Larva yang baru menetas
tidak memiliki kaki. Fase pupa adalah fase yang tidak memerlukan makanan
(Kadarsan dkk., 1983).
III.5.
Potensi Kerugian yang Ditimbulkan
Dermatosis
Infestasi ektoparasit
dapat mengakibatkan kerusakan kulit atau dermatosis sehingga menurunkan
kualitas kulit. Infestasi ektoparasit juga menghilangkan rambut penutup dan
menimbulkan suatu jaringan nekrotik pada kulit.
Penyebaran
Berbagai Penyakit.
Ektoparasit berperan dalam penularan
dan pemindahan berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa,
dan rickettsia. Beberapa diantaranya bersifat zoonosis. Seperti yang dijelaskan
diberbaga sumber, contohnya Caplak berinang satu menularkan agen penyakit
secara transovarial (melalui telur) sedangkan caplak berinang dua dan tiga
secara transtadial (dari larva ke nimfa dan dari nimfa ke caplak dewasa)
(Soulsby, 1982). Peran caplak sebagai penular penyakit dari hewan ke manusia
telah banyak diketahui. Beberapa penyakit yang ditularkan caplak pada manusia
adalah demam Q, demam hemoragi Crimean-Congo, penyakit lyme. Penyakit yang
dapat ditularkan oleh caplak pada sapi antara lain anaplasmosis, babesiosis,
theileriosis, ensefalitis, ehrlichiosis, dan lain-lain. Penyakit babesiosis
yang ditularkan berbagai caplak dapat menyebabkan kematian 80-90% sapi dewasa
yang tidak diobati dan 10-15% ternak muda umur satu sampai dua tahun. Kerugian
lain yang timbul akibat penyakit ini adalah penurunan berat badan, penurunan
produksi susu.
Beberapa penyakit yang ditimbulkan akibat infestasi
caplak dan tungau antara lain: scrub thypus, rocky mountain spotted fever, tularemia, Lyme disease (Krantz, 1978). Infestasi pinjal bahkan pernah menyebabkan
epidemi pes di daerah Boyolali, Jawa Tengah pada akhir 1960an. Hal ini
disebabkan karena pinjal dapat menularkan bakteri Yersinia pestis, penyebab
penyakit pes, dari tikus ke manusia (Kadarsan dkk., 1983).
Iritasi
dan Penurunan Produksi
Gigitan Ektoparasit menyebabkan iritasi dan
kegelisahan sehingga aktivitas dan waktu istirahat inang akan berkurang. Gigitan
juga akan memperbesar faktor “stress” yaitu banyak energi yang terbuang,
sehingga akan menurunkan efisiensi makanan dan sekaligus menghambat laju
pertumbuhan badan dan daya produksi.
III. 6
Pengendalian Ektoparasit
Pencegahan Penyakit Ektoparasit
Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan
memperhatikan perkandangan yang baik misalnya ventilasi kandang, lantai kandang
juga kontak dengan ternak lain yang sakit dan orang yang sakit. Sanitasi
merupakan usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur
faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan perpindahan dari penyakit
tersebut. Prinsip sanitasi yaitu bersih secara fisik, kimiawi dan mikrobiologi.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam sanitasi
1. Ruang dan alat yang akan disanitasi
2. Metiode sanitasi yang digunakan.
3. Bahan/zat kimia serta aplikasinya.
4. Monitoring program sanitasi.
5. Harga bahan yang digunakan.
6. Ketrampilan pekerja
7. Sifat bahan/produk dimana kegiatan akan dilakukan.
Prinsip-prinsip dalam pencegahan penyakit
yaitu pencegahan lebih baik daripada mengobati, ternak baru yang akan
dimasukkan ke kandang harus dipastikan bebas dari berbagai penyakit, lingkungan
kandang harus bersih dan kering, pembersihan kandang dan peralatan dilakukan
setiap hari, pengendalian parasit internal (cacingan) dan eksternal (caplak,
lalat dan pinjal). Jika ternak telah terinfeksi ektoparasit maka dapat
dilakungan pembersihan dengan diambil satu-satu atau dengan cara Memandikan dalam hal ini tidak hanya dalam arti membersihkan dari kotoran
yang melekat dibadan tapi juga sekaligus dilakukan pengobatan eksternal
terhadap kuku, parasit, jamur, kudis, dan lain - lain yang sifatnya mengganggu
kesehatan kulit. Untuk memandikan ternak sapi ini perlu disediakan fasilitas
seperti dipping atau spraying. Akan tetapi hanya tindakan spraying yang sering
dilakukan di peternakan tersebut, dan dipping tidak dilakukan dikarenakan tidak
memiliki bak untuk memandikan ternak sapi. Dipping merupakan tindakan menyelamatkan ternak sapi ke dalam ternak
sapi yang berisi air dan zat kimia pembunuh eksternal parasit.
Sapi akan berenang sepanjang bak tersebut dan badannya akan basah oleh air yang
mengandung zat kimia.
Spraying adalah tindakan menyemprotkan zat kimia pembunuh eksternal parasit
ke badan sapi secara mekanis maupun manual. Tujuan Dipping dan spraying pada
dasarnya adalah sama yakni unutk membunuh eksternal parasit yang terdapat pada
badan sapi. Akan tetapi, penggunaan dipping lebih ekonomis kerana cairan zat kimia dapat digunakan berulang-ulang, tetapi perlu
diperhatikan apabila hujan turun dosis zat kimia akan menurun dan tidak efektif
lagi akibat bertambahnya air. Keuntungan spraying adalah tidak berubahnya dosis
zat kimia. Selain itu, penyemprotan dapat mencapai bagian tubuh yang mungkin
terlewat apabila dilakukan dengan cara dipping, misalnya bagian telinga, dasar
tanduk, dan bagian tepi lainnya.
Bab IV
Kesimpulan dan Saran
Beberapa kesimpulan yang
diperoleh antara lain seringkali masyarakat atau peternak tidak mampu
membedakan antara tungau (mite), caplak (tick), kutu (lice), dan pinjal (flea).
Ektoparasit ternyata dapat memberikan dampak yang signifikan yang seringkali
tidak disadari oleh peternak.
.
Saran yang dapat diberikan antara lain pentingnya menjaga sanitasi dan hygiene
peternakan dalam usaha meningkatkan pencegahan infestasi ektoparasit.
Sebaliknya para peternak lebih memiliki pengetahuan terhadap ektoparasit ini
sehingga dapat melakukan pencegahan. Pengobatan juga dapat dilakukan jika
memang infestasi parasit telah terjadi.
Daftar Pustaka
Anonim. Tanpa tahun
.Fleas. http://www.vetmed.vt.edu/vth/sa/clin/cp_handouts/Flea_Information.pdf. Diakses pada
tanggal 5 Oktober 2015.
Akoso, T. B. 1996. Kesehatan Sapi.
Kanisius, Yogyakarta.
Borror, D. J., C. A. Triplehorn & N. F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Ed. 6. Penerjemah:S.
Partosoedjono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Bowman, D.D (1999). Georgis’ Parasitology for Veterinery. 8th Ed. Saunders an Imprint of
Elsevier Science.
Elzinga, R. J. 1978. Fundamentals of Entomology. Prentice Hall of India Private Ltd.
New Delhi.
Evans, G. O. 1992. Principles of Acarology. Cambridge University Press, UK.
Kadarsan, S., A. Saim, E. Purwaningsih, H. B. Munaf,
I. Budiarti & S. Hartini. 1983.Binatang Parasit. Lembaga
Biologi Nasional-LIPI. Bogor.
Kendall, D. A. 2008. Mites & Ticks in Insect
& Other arthropod. www.kendall-bioresearch.co.uk/mite. htm.
Krantz, G. W. 1978. A
Manual of Acarology. 2nd ed. Oregon State University Book Store,
Inc.Corvalis
Levine N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi
Veteriner. Terjemahan G. Ashadi Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Soulsby
EJL. 1982. Helminths, Arthropods and
Protozoa of Domesticated Animals. New York.
Vredevoe, L. 1997. Background
Information on the Biology
of Ticks..http://entomology.ucdavis.edu/ faculty/rbkimsey/tickbio.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar