Minggu, 17 Januari 2016

MENGENAL EKTOPARASIT PADA HEWAN DAN POTENSI KERUGIAN YANG DITIMBULKANNYA



MENGENAL EKTOPARASIT PADA HEWAN
DAN POTENSI KERUGIAN YANG DITIMBULKANNYA
OLEH DRH Iyan Kurniawan

Bab I
Pendahuluan

Latar Belakang
Peternakan merupakan salah satu usaha yang menjadi penopang hidup sebagian besar masyarakat di Indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat indonesia yang bermata pencaharian sebagai peternak. Proses budidaya peternakan yang ideal adalah yang mampu menerapkan praktek manajemen peternakan integral. sering kali dijumpai dilapangan para peternak hanya memelihara ala kadarnya sehingga peternakan belum mampu menjadikan pelakunya sejahtera.
Parasit adalah suatu organisme lebih kecil yang hidup menempel pada tubuh organisme yang lebih besar yang disebut host. Parasit merupakan organisme yang hidupnya merugikan induk semang yang ditumpanginya.Keberadaan parasit dalam tubuh host dapat bersifat sebagai parasit sepenuhnya dan tidak sepenuhnya sebagai parasit. Ada beberapa sifat hidup dari parasit seperti parasit fakultatif, obligat, insidentil temporer dan permanen. Penyebarannya di atas permukaan bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya siklus hidup, iklim, sosial budaya atau ekonomi dan kebersihan. Biasanya hospes atau induk semang yang jadi sasarannya bisa berupa hospes definitif (akhir), insidentil, carrier, perantara dan hospes mekanik.
Salah satu bagian dari manajemen peternakan adalah aspek kesehatan hewan. Lebih kecil lagi tulisan ini akan berusaha membahas gangguan ternak yang merupakan bagian dari ektoparasit yang masih sedikit sekali diperhatikan oleh para pelaku peternakan pada umumnya. Salah satu ektoparasit yang memberikan dampak kerugian tetapi belum diperhatikan adalah tungau, caplak, kutu dan pinjal.  Masyarakat seringkali rancu untuk menyebut binatang kecil yang mengganggu ternak dengan satu sebutan yaitu kutu. Padahal terdapat kemungkinan bahwa binatang pengganggu tersebut dari kelompok yang berbeda. Kelompok hewan yang sering menimbulkan kerancuan dalam penyebutan adalah tungau (mite), caplak (tick), kutu (lice), dan pinjal (flea). Disini akan dibahas mengenai keempat ektoparasit tersebut sehingga dapat memahami dan membedakannya beserta dampak kerugiannya.

Tujuan
Tulisan ini membahas mengenai tentang ektoparasit seperti tungau (mite), caplak (tick), kutu (lice), dan pinjal (flea) beserta perbedaannya. Serta membahas mengenai dampak kerugian yang bisa ditimbulkan.

Manfaat
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi peternak dan masyarakat pada umumnya, sehingga dapat meminimalisir kerugian yang ditimbulkan oleh ektoparasit.

 

Bab II
Materi dan Metode
Tulisan tentang Mengenal Ektoparasit Pada Hewan dan Potensi Kerugian yang  Ditimbulkan  ini di susun berdasarkan studi literatur yang terkait dan sesuai baik melalui buku maupun tulisan ilmiah lainnya yang berupa jurnal dan artikel yang berkaitan. 

 
Bab III
Pembahasan
III.1. Pengertian Parasit
Parasit adalah suatu organisme lebih kecil yang hidup menempel pada tubuh organisme yang lebih besar yang disebut host. Keberadaan parasit dalam tubuh host dapat bersifat sebagai parasit sepenuhnya dan tidak sepenuhnya sebagai parasit. Hal tersebut tergantung dari jumlah, jenis, tingkat kesakitan yang dapat ditimbulkan oleh parasit serta ketahanan tubuh dan nutrisi dalam tubuh induk semangnya. Hubungan host dan parasit dapat bersifat simbiosismutualisme, parasitis, dan parasitosis (Bowmans, 1999).
Banyak parasit memiliki siklus hidup kompleks yang memerlukan beberapa inang untuk pertumbuhan dan reproduksi. Untuk itu, mereka telah memperoleh banyak adaptasi unik yang dapat mengubah perilaku inang dan dengan demikian membuat mereka lebih rentan terhadap predator mereka. Proses ini memungkinkan transmisi dari tahap parasit dari satu inang ke yang lain. Tergantung pada lingkungan hidup parasit, mereka dapat diklasifikasikan sebagai endoparasit dan ektoparasit (Akoso, 1996).

III.2.  Klasifikasi
Tungau, caplak, kutu dan pinjal tergabung dalam satu filum yang sama yaitu Arthropoda. Tungau dan caplak berada dibawah satu kelas (Arachnida) dan anak kelas yang sama yaitu Acari, namun keduanya tergolong dalam suku yang berbeda.  Caplak termasuk dalam golongan suku Ixodidae dan Argasidae sedangkan suku yang lain disebut tungau saja (Krantz, 1978). 
Bagaimana dengan posisi kutu dan pinjal dalam klasifikasi?  Menurut Borror dkk. (1996) kutu dan pinjal termasuk dalam kelas Insekta (serangga) namun berbeda bangsa. Kutu seringkali dibagi menjadi dua bangsa yang terpisah yaitu Mallophaga (kutu penggigit) dan Anoplura (kutu penghisap). Kutu penghisap sering pula disebut “tuma” oleh masyarakat Indonesia. Ahli entomologi dari Inggris, Jerman dan Australia hanya mengenali satu bangsa tunggal yaitu Phthiráptera, dengan empat anak bangsa (salah satunya Anoplura).
Pinjal termasuk dalam bangsa Siphonaptera. Beberapa suku yang terdapat di Indonesia antara lain Pulicidae, Ischnopsyllidae, Hystrichopsyllidae, Pygiopsyllidae, Ceratophyllidae dan Leptosyllidae. Pinjal tikus dan kucing yang umum ditemukan termasuk dalam Pulicidae.

III.3. Morfologi
Tungau (Mite) dan Caplak (Tick)
Tungau merupakan binatang yang sangat kecil seperti kutu dan tidak tampak oleh mata. Tungau adalah sekelompok hewan kecil bertungkai delapan yang bersama-sama dengan caplak, menjadi anggota superordo Acarina.
Sama seperti anggota arachnida lainnya (laba-laba, kalajengking dll.), tubuh tungau dan caplak terbagi menjadi dua bagian, yaitu: bagian depan disebut cephalothorax (prosoma) dan bagian belakang tubuh disebut abdomen (ophistosoma).Meskipun demikian, tidak terdapat batas yang jelas diantara dua bagian tubuh tersebut. Tungau dan caplak dewasa mempunyai alat-alat tubuh pada arachnida seperti khelisera dan palpus (alat sensori) yang terdapat di bagian , dan enathosoma/capitulum, dan empat pasang kaki (Kendall, 2008).
Sebagian besar tungau berukuran sangat kecil, memiliki panjang kurang dari 1 mm. Namun ada pula tungau besar yang dapat mencapai panjang 7.000 µm. Pada gnathosoma tungau terdapat epistoma, tritosternum (berfungsi dalam transport cairan tubuh), palpus yang beruas- ruas, khelisera, corniculi, hipostoma berseta yang  masing-masing sangat beragam dalam hal bentuk dan jumlah ruasnya tergantung pada kelompoknya.
Khelisera pada tungau teradaptasi untuk menusuk, menghisap atau mengunyah. Tubuh dilindungi oleh dorsal shield/scutum. Tungau memiliki stigma (alat pertukaran O2 dan CO2) yang letaknya bervariasi yaitu di punggung dorsal, antara pangkal kaki/ coxa 2 dan 3, di sebelah coxa ke tiga atau diantara khelisera.
Letak stigma menjadi kunci penting untuk membedakan bangsa tungau. Caplak memiliki ukuran lebih besar dari pada tungau. Panjang tubuh dapat mencapai 2.000-30.000 µm. Selain ukurannya, caplak dibedakan dari tungau berdasarkan letak stigma yang berada di bawah coxa (pangkal kaki) ke empat. Caplak juga memiliki karakter-karakter khas tersendiri pada hipostoma memiliki ocelli/mata, tetapi tidak memiliki epistoma, corniculi dan tritosternum. Caplak dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu caplak berkulit keras/ hard tick (Ixodidae) dan caplak berkulit lunak/soft tick (Argasidae) karena tidak memiliki scutum (Krantz, 1978; Evans, 1992).
Hipostoma pada caplak merupakan suatu struktur yang terdiri dari gigi- gigi yang tersusun teratur dan menonjol. Struktur inilah yang digunakan untuk menusuk tubuh induk semang ketika caplak menghisap darah. Hipostoma dilindumgi oleh khelisera (Vredevoe, 1997).


Kutu (Lice)
kutu adalah insekta yang tubuhnya pipih dorso-ventral, memiliki 6 ( 3 pasang) kaki, tidak bersayap, bersifat hospes  spesifik (hanya bisa hidup pada hospes  tertentu) dan umumnya pada tempat yang tertentu pula. Kutu dapat dibedakan menjadi : (1) kutu penggigit (“bitting lice”) yang kepalanya besar dan melebar, memakan epidermis kulit, remukan bulu, sisik bulu, kerak kulit dan sedimen yang mengering dan (2) kutu penghisap (“sucking lice”) dengan bentuk kepala yang kecil dan meruncing, makanannya adalah darah atau cairan. Dua kelompok kutu yaitu kutu penghisap/ tuma dan kutu penggigit memiliki ciri-ciri morfologiyang berbeda. Ukuran tubuh kutu penghisap mencapai 0,4-6,5 mm; kepala kutu penghisap biasanya lebih sempit daripada protoraksnya; sungut beruas-ruas; mata mereduksi dan bagian-bagian mulut haustellat. Tuma memiliki tiga stilet penusuk (dorsal, tengah dan ventral) pada bagian mulutnya dan satu rostrum pendek pada ujung anterior kepala (Borror dkk., 1996).
Dari tempat itu tiga stilet penusuk dijulurkan. Stilet tersebut kira-kira panjangnya sama dengan kepala dan apabila tidak dipakai dapat ditarik masuk ke dalam satu struktur seperti kantung panjang di bawah saluran pencernaan. Stilet dorsal berfungsi sebagai saluran makanan. Stilet tengah mengandung air liur dan berfungsi sebagai hipofaring, sedangkan stilet ventral sebagai penusuk utama diperkirakan berfungsi sebagai labium. Kaki-kaki kutu penghisap pendek dan memiliki cakar pengait yang termodifikasi untuk melekat pada induk semang. Kutu penggigit bertubuh pipih; berukuran tubuh 2-6 mm; bagian mulut mandibulat; mata majemuk mereduksi; lebar kepala sama atau lebih dengan protoraksnya; tarsi beruas 2-5 dan tidak memiliki cerci (Elzinga, 1978).



Pinjal (Flea)
Pinjal merupakan salah satu parasit yang paling sering ditemui pada hewan kesayangan baik anjing maupun kucing. Meskipun ukurannya yang kecil dan kadang tidak disadari pemilik hewan karena tidak menyebabkan gangguan kesehatan hewan yang serius, namun perlu diperhatikan bahwa dalam jumlah besar kutu dapat mengakibatkan kerusakan kulit yang parah bahkan menjadi vektor pembawa penyakit tertentu  (Anonim, 2015).
Pinjal berukuran kecil dengan panjang 1,5-3,3 mm dan bergerak cepat. Biasanya berwarna gelap (misalnya, cokelat kemerahan untuk kutu kucing). Pinjal merupakan serangga bersayap dengan bagian-bagian mulut seperti tabung yang digunakan untuk menghisap darah host mereka. Kaki pinjal berukuran panjang, sepasang kaki belakangnya digunakan untuk melompat (secara vertikal sampai 7 inch (18 cm); horizontal 13 inch (33 cm)). Pinjal merupakan kutu pelompat terbaik diantara kelompoknya. Tubuh pinjal bersifat lateral dikompresi yang memudahkan mereka untuk bergerak di antara rambut-rambut atau bulu di tubuh inang. Kulit tubuhnya keras, ditutupi oleh banyak bulu dan duri pendek yang mengarah ke belakang, dimana bulu dan duri ini memudahkan pergerakan mereka pada hostnya (Anonim, 2015).


III.4. Siklus Hidup
Proses reproduksi pada tungau dan caplak bervariasi. Siklus hidup yang dijalaninya berupa: telur-larva-nimpha-tungau/caplak dewasa. Larva tungau dan caplak hanya memiliki 3 pasang kaki. Larva caplak, setelah makan darah induk semang, akan tumbuh menjadi nimpha yang memiliki 4 pasang kaki. Nimpha makan darah dan akan tumbuh menjadi caplak dewasa. Setelah makan satu kali sampai kenyang, caplak dewasa betina akan bertelur kemudian ia mati. Caplak betina setelah kenyang menghisap darah dapat membengkak sampai 20-30 kali ukuran semula. Caplak memerlukan + 1 tahun untuk menyelesaikan satu siklus hidup di daerah tropis dan lebih dari satu tahun di daerah lebih dingin (Levine,1994).
Caplak dapat bertahan hidup selama berbulan- bulan tanpa makan jika belum mendapatkan induk semangnya. Caplak dapat hidup pada 1-3 induk semang berbeda selama fase pertumbuhannya sehingga dikenal dengan sebutan caplak berinduk semang satu, berinduk semang dua dan berinduk semang tiga (Vredevoe, 1997).
Kutu menjalani proses metamorfosa yang tidak sempurna, yaitu telur-nimpha-individu dewasa. Seluruh siklus hidup terjadi di tubuh induk semang. Telur kutu akan menempel pada rambut induk semang dengan bantuan zat perekat yang dihasilkannya. Sedangkan siklus hidup yang dijalani pinjal merupakan metamorfosa sempurna yaitu telur-larva-pupa-dewasa. Larva yang baru menetas tidak memiliki kaki. Fase pupa adalah fase yang tidak memerlukan makanan (Kadarsan dkk., 1983).

III.5.
Potensi Kerugian yang Ditimbulkan
        Dermatosis
Infestasi ektoparasit dapat mengakibatkan kerusakan kulit atau dermatosis sehingga menurunkan kualitas kulit. Infestasi ektoparasit juga menghilangkan rambut penutup dan menimbulkan suatu jaringan nekrotik pada kulit.

        Penyebaran Berbagai Penyakit.
            Ektoparasit berperan dalam penularan dan pemindahan berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa, dan rickettsia. Beberapa diantaranya bersifat zoonosis. Seperti yang dijelaskan diberbaga sumber, contohnya Caplak berinang satu menularkan agen penyakit secara transovarial (melalui telur) sedangkan caplak berinang dua dan tiga secara transtadial (dari larva ke nimfa dan dari nimfa ke caplak dewasa) (Soulsby, 1982). Peran caplak sebagai penular penyakit dari hewan ke manusia telah banyak diketahui. Beberapa penyakit yang ditularkan caplak pada manusia adalah demam Q, demam hemoragi Crimean-Congo, penyakit lyme. Penyakit yang dapat ditularkan oleh caplak pada sapi antara lain anaplasmosis, babesiosis, theileriosis, ensefalitis, ehrlichiosis, dan lain-lain. Penyakit babesiosis yang ditularkan berbagai caplak dapat menyebabkan kematian 80-90% sapi dewasa yang tidak diobati dan 10-15% ternak muda umur satu sampai dua tahun. Kerugian lain yang timbul akibat penyakit ini adalah penurunan berat badan, penurunan produksi susu.
            Beberapa penyakit yang ditimbulkan akibat infestasi caplak dan tungau antara lain: scrub thypus, rocky mountain spotted fever, tularemia, Lyme disease (Krantz, 1978). Infestasi pinjal bahkan pernah menyebabkan epidemi pes di daerah Boyolali, Jawa Tengah pada akhir 1960an. Hal ini disebabkan karena pinjal dapat menularkan bakteri Yersinia pestis, penyebab penyakit pes, dari tikus ke manusia (Kadarsan dkk., 1983).

        Iritasi dan Penurunan Produksi
Gigitan Ektoparasit menyebabkan iritasi dan kegelisahan sehingga aktivitas dan waktu istirahat inang akan berkurang. Gigitan juga akan memperbesar faktor “stress” yaitu banyak energi yang terbuang, sehingga akan menurunkan efisiensi makanan dan sekaligus menghambat laju pertumbuhan badan dan daya produksi.

III. 6
Pengendalian Ektoparasit
Pencegahan Penyakit Ektoparasit
Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan memperhatikan perkandangan yang baik misalnya ventilasi kandang, lantai kandang juga kontak dengan ternak lain yang sakit dan orang yang sakit. Sanitasi merupakan usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan perpindahan dari penyakit tersebut. Prinsip sanitasi yaitu bersih secara fisik, kimiawi dan mikrobiologi.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam sanitasi
1.      Ruang dan alat yang akan disanitasi
2.      Metiode sanitasi yang digunakan.
3.      Bahan/zat kimia serta aplikasinya.
4.      Monitoring program sanitasi.
5.      Harga bahan yang digunakan.
6.      Ketrampilan pekerja
7.      Sifat bahan/produk dimana kegiatan akan dilakukan.
Prinsip-prinsip dalam pencegahan penyakit yaitu pencegahan lebih baik daripada mengobati, ternak baru yang akan dimasukkan ke kandang harus dipastikan bebas dari berbagai penyakit, lingkungan kandang harus bersih dan kering, pembersihan kandang dan peralatan dilakukan setiap hari, pengendalian parasit internal (cacingan) dan eksternal (caplak, lalat dan pinjal). Jika ternak telah terinfeksi ektoparasit maka dapat dilakungan pembersihan dengan diambil satu-satu atau dengan cara Memandikan dalam hal ini tidak hanya dalam arti membersihkan dari kotoran yang melekat dibadan tapi juga sekaligus dilakukan pengobatan eksternal terhadap kuku, parasit, jamur, kudis, dan lain - lain yang sifatnya mengganggu kesehatan kulit. Untuk memandikan ternak sapi ini perlu disediakan fasilitas seperti dipping atau spraying. Akan tetapi hanya tindakan spraying yang sering dilakukan di peternakan tersebut, dan dipping tidak dilakukan dikarenakan tidak memiliki bak untuk memandikan ternak sapi. Dipping merupakan tindakan menyelamatkan ternak sapi ke dalam  ternak sapi yang berisi air dan zat kimia pembunuh eksternal parasit. Sapi akan berenang sepanjang bak tersebut dan badannya akan basah oleh air yang mengandung zat kimia.
Spraying adalah tindakan menyemprotkan zat kimia pembunuh eksternal parasit ke badan sapi secara mekanis maupun manual. Tujuan Dipping dan spraying pada dasarnya adalah sama yakni unutk membunuh eksternal parasit yang terdapat pada badan sapi. Akan tetapi, penggunaan dipping lebih ekonomis kerana cairan zat kimia dapat digunakan berulang-ulang, tetapi perlu diperhatikan apabila hujan turun dosis zat kimia akan menurun dan tidak efektif lagi akibat bertambahnya air. Keuntungan spraying adalah tidak berubahnya dosis zat kimia. Selain itu, penyemprotan dapat mencapai bagian tubuh yang mungkin terlewat apabila dilakukan dengan cara dipping, misalnya bagian telinga, dasar tanduk, dan bagian tepi lainnya.


Bab IV
Kesimpulan dan Saran
Beberapa kesimpulan yang diperoleh antara lain seringkali masyarakat atau peternak tidak mampu membedakan antara tungau (mite), caplak (tick), kutu (lice), dan pinjal (flea). Ektoparasit ternyata dapat memberikan dampak yang signifikan yang seringkali tidak disadari oleh peternak.
. Saran yang dapat diberikan antara lain pentingnya menjaga sanitasi dan hygiene peternakan dalam usaha meningkatkan pencegahan infestasi ektoparasit. Sebaliknya para peternak lebih memiliki pengetahuan terhadap ektoparasit ini sehingga dapat melakukan pencegahan. Pengobatan juga dapat dilakukan jika memang infestasi parasit telah terjadi.



Daftar Pustaka

Anonim. Tanpa tahun .Fleas.  http://www.vetmed.vt.edu/vth/sa/clin/cp_handouts/Flea_Information.pdf. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2015.
Akoso, T. B. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.
Borror, D. J., C. A. Triplehorn & N. F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Ed. 6. Penerjemah:S. Partosoedjono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Bowman, D.D (1999). Georgis’ Parasitology for Veterinery. 8th Ed. Saunders an Imprint of Elsevier Science.
Elzinga, R. J. 1978. Fundamentals of Entomology. Prentice Hall of India Private Ltd. New Delhi.
Evans, G. O. 1992. Principles of Acarology. Cambridge University Press, UK.
Kadarsan, S., A. Saim, E. Purwaningsih, H. B. Munaf, I. Budiarti & S. Hartini. 1983.Binatang Parasit. Lembaga Biologi Nasional-LIPI. Bogor.
Kendall, D. A. 2008. Mites & Ticks in Insect & Other arthropod. www.kendall-bioresearch.co.uk/mite. htm.
Krantz, G. W. 1978. A Manual of Acarology. 2nd ed. Oregon State University Book Store, Inc.Corvalis
Levine N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Terjemahan G. Ashadi Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. New York.
Vredevoe, L. 1997. Background Information on the Biology of Ticks..http://entomology.ucdavis.edu/ faculty/rbkimsey/tickbio.html.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perkiraan Dampak Ekonomi Penyakit Porcine Reproductive and Respiratory Sydrome (PRRS) di Sumatera Utara

  Perkiraan Dampak Ekonomi Penyakit   Porcine Reproductive and Respiratory Sydrome (PRRS) di Sumatera Utara   Oleh : Iyan Kurniaw...