Perkiraan Dampak Ekonomi
Penyakit Porcine Reproductive and Respiratory Sydrome (PRRS) di Sumatera
Utara
Oleh :
Iyan Kurniawan1
Arif
Setiani Wahyuning Tyas2
(Medik Veteriner Muda Balai Besar Karantina
Pertanian Belawan)
ABSTRAK
Porcine
reproductive and respiratory syndropme (PRRS) merupakan
penyakit menular pada babi, yang dapat mengakibatkan kerugian ekonomi. Kerugian
tersebut dapat berupa kematian babi, keguguran dan kematian pada anak babi yang
baru dilahirkan dan mumifikasi. Pemerintah telah menetapkan PRRS sebagai
penyakit hewan menular strategis. Metode
yang digunakan untuk menganalisa dampak kerugian ekonomi akibat PRRS dengan
menggunakan perhitungan kerugian ekonomi secara langsung dan tidak langsung.
Hasil dari perhitungan dampak kerugian ekonomi ini bermanfaat untuk menentukan
tindakan pencegahan terhadap kejadian PRRS di Indonesia khususnya Sumatera Utara.
Kata kunci : PRRS, kerugian ekonomi, kerugian
langsung, kerugian tidak langsung
BAB I
PENDAHULUAN
Porcine reproductive and
respiratory syndropme (PRRS) atau yang biasa disebut
juga dengan swine infertility and
respiratory syndrome (SIRS), porcine
epidemic abortion and respiratory syndrome (PEARS) atau penyakit telinga
biru, merupakan penyakit menular ganas pada babi yang disebabkan virus dengan
gejala utama gangguan reproduksi dan pernapasan yang dapat mengakibatkan
kerugian ekonomi cukup besar. Kerugian tersebut dapat berupa kematian babi,
keguguran dan kematian pada anak babi yang baru dilahirkan dan mumifikasi. Keberadaan
virus tersebut baru dilaporkan pertama kali pada tahun 1980-an. Agen penyebab
virus PRRS diisolasi pertama kali di Belanda dan dinamakan European type yang
diwakili oleh virus Lelystad dan North American type yang diwakili
oleh virus VR-2332 yang di isolasi di Amerika pada tahun 1992 (Benfield et al., 1992). Materi genetik kedua tipe
virus tersebut adalah sama, yaitu virus ribo nucleic acid (RNA),
beramplop, tergolong famili Arteriviridae, beruntai pendek dan tidak
bersegmen (Benfield et al., 1992).
Industri peternakan babi berperan penting dalam
meningkatkan perekonomian masyarakat di beberapa
bagian Indonesia. Peternakan babi
terkonsentrasi di Provinsi Sumatra Utara, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Utara Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Jumlah babi di seluruh Indonesia diperkirakan delapan juta ekor
(Dirjen PKH, 2015), sebagian besar dari populasi
tersebut berasal dari peternakan rakyat. Indonesia
adalah negara produsen babi terbesar kelima di Asia Tenggara maka harus
senantiasa meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya Highly Pathogenic-PRRS.
Letupan virus PRRS diindikasikan ada di Sumatera Utara pada tahun 2008
(Hutagaol et al., 2010). Pada tanggal 01 April 2013 diterbitkan surat
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026/Kpts./OT.140/3/2013 tentang penetapan
jenis penyakit hewan menular strategis yang memasukkan penyakit porcine
reproductive and respiratory syndrome (PRRS) sebagai salah satu penyakit
strategis nasional, memberikan suatu perhatian yang baik terhadap penyakit ini.
Kurangnya pengaturan dan pelayanan teknis dari pemerintah terhadap sektor
peternakan babi, menyebabkan pelaksanaan surveilan tergolong minim dan
kesiapsiagaan terhadap munculnya penyakit babi yang baru, termasuk HP-PRRS
sangat rendah.
Penyakit PRRS mempunyai dampak ekonomi yang luas pada
peternakan babi di Eropa, Amerika Utara, dan Cina. Kerugian akibat penyakit ini
terutama akibat kematian, abortus, dan mumifikasi fetus, serta biaya pengobatan
yang tinggi karena morbiditas dapat mencapai 100% serta biaya untuk sanitasi.
Kerugian lain adalah anak babi yang lahir dari induk yang terinfeksi biasanya
lemah dan kerdil sehingga feed conversion rate (FCR) menjadi tinggi
(Neumann et al., 2005). Kerugian akibat wabah virus PRRS dapat mencapai
$ 236/babi betina dewasa atau sekitar 600 juta dolar per tahun untuk produksi
babi di seluruh dunia (Molenpkam et al., 2013).
Dari 280 serum yang diperiksa pada tahun 2008;
11.4% seropositif, pada tahun 2009; 17.5% seropositif (dari 183 serum), tahun
2010; 0 % seropositif (dari 36 serum), tahun 2011; 0% (dari 219 serum), tahun
2012; 22.2% (dari 306 serum), tahun 2013; 5.2% (dari 96 serum). Hasil
seropositif kemungkinan karena ternak divaksin, atau pernah terpapar virus PRRS (Martdeliza, 2013)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi
Agen
penyebab virus PRRS diisolasi pertama kali di Belanda dan dinamakan European
type yang diwakili oleh virus Lelystad (Wensvoort et al.,
1991) dan North American type yang diwakili oleh virus VR-2332 yang di
isolasi di Amerika pada tahun 1992 (Benfield et al., 1992). Materi genetik
kedua tipe virus tersebut adalah sama, yaitu virus ribo nucleic acid (RNA),
beramplop, tergolong famili Arteriviridae, beruntai pendek dan tidak
bersegmen (Benfield et al., 1992). Inaktif dalam ether dan
kloroform. Penularan melalui babi yang terinfeksi, tetapi virus juga bisa
menular melalui feces, urine, semen dan muntahan.
Virus PRRS dapat diklasifikasi menjadi dua
genotipe yang secara genetik sangat berbeda. PRRS tipe 1 atau strain Eropa,
dengan penyebaran utamanya di benua Eropa, dan tipe 2 atau strain Amerika utara
yang kebanyakan diisolasi di benua Amerika (utara dan selatan) dan juga di
Asia. Secara retrospektif, sirkulasi virus PRRS tipe 1 atau tipe 2 sebenarnya
sudah ditemukan di China dan Thailand sejak 1996 dan wilayah Mekong River Delta
di Vietnam sejak 2000, akan tetapi sebelumnya pada saat itu tidak ada gejala
klinis hebat dihubungkan dengan penyakit ini (FAO, 2011; Tun et al., 2011)
Gambaran molekuler dari virus PRRS yang
diisolasi dari wabah di China tersebut menunjukkan adanya penghilangan 30 asam
amino dari non-struktural protein 2 (NSP2) dan ini kemudian dijadikan sebagai
penanda genetik dari virus PRRS baru. Analisa filogenetik isolat-isolat virus
dari China diklasifikasikan menjadi 4 sub-kelompok yang sekuens genomnya
memiliki kemiripan 99% satu sama lain (FAO, 2011). Dengan penemuan baru tersebut, maka genotipe
ini kemudian disebut sebagai virus PRRS strain China. Begitu juga karena gejala
klinis dan patogenesitas berbeda dengan PRRS tradisional, maka penyakit
ini kemudian disebut highly pathogenic porcine reproductive and respiratory
syndrome (HP-PRRS).
Epidemiologi
Penyakit
ini dilaporkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1987 (Keffaber, 1989)
dan semenjak itu penyakit tersebar di beberapa Negara seperti Kanada, Inggris,
Belanda, Asia Tenggara, Malta, Cyprus dan Indonesia. Di Indonesia dilaporkan
secara serologis di Sumatera Utara (Sumaryani et al., 1998) dan Kupang (Ketut Santhia et
al.,, 1999). Pada tahun 2009 terjadi kasus penyakit babi di Sumatera Utara,
penyebab penyakit diidentifikasi sebagai virus PRRS. Distribusi dari penyakit PRRS ini cukup luas di
seluruh dunia. Penyakit ini dilaporkan pertama kali di
Amerika Serikat pada tahun 1987 (Keffaber, 1989) dan semenjak itu penyakit
tersebar di beberapa Negara seperti Kanada, Inggris, Belanda, Asia Tenggara,
Malta, Cyprus, Vietnam dan Indonesia. Pada tahun 2009 terjadi kasus penyakit babi di
Sumatera Utara, penyebab penyakit diidentifikasi sebagai virus PRRS. Keterlibatan
virus PRRS telah terbukti dalam
penelitian serologi dan virologi. Hasil penelitian menunjukkan rataan antibodi anti-PRRS adalah 13,4% dengan prevalensi virus PRRS sebesar 8,9% (Suartha et al., 2013)
Infeksi virus PRRS yang
dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1996 merupakan virus yang lebih
virulen dan telah menginfeksi populasi babi yang telah divaksinasi dan
mengakibatkan tingkat abortus dan kematian yang tinggi (Mengeling et al., 1998),
sehingga kasus infeksi virus PRRS tersebut dikenal sebagai infeksi PRRS akut.
Kriteria untuk diagnosis PRRS akut, meliputi onset penyakit, tanda klinis
(selama 2-4 minggu), kematian lebih dari 5% pada induk babi dan babi hutan,
serta tingkat aborsi lebih dari 10% (Zimmerman et al., 1997).
Pada
tahun 2006-2007, kasus kematian babi yang sangat tinggi dilaporkan di Cina.
Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa wabah tersebut disebabkan oleh virus PRRS.
Gejala klinis dan patogenesitas dari wabah tersebut berbeda dengan PRRS
tradisional. Mortalitas pada kasus di Cina ini dapat lebih dari 60% dan
morbiditas dapat mencapai sampai 100% (Tian et al., 2007).
Laporan
tersebut menyimpulkan bahwa virus PRRS Cina tahun 2006 telah menyebar ke Vietnam dan
kemudian bersirkulasi secara cepat di negara tersebut dan akhirnya menyebar ke
negara-negara Asia Tenggara, meliputi Filipina dan Thailand tahun 2008, Laos
dan Kamboja tahun 2010 serta Myanmar tahun 2011 (FAO, 2011).
Gambar 1.
Persebaran PRRS di Asia
Salah
satu penjelasan sehubungan dengan wabah ini adalah turunan virus PRRS tipe NA
yang berevolusi menjadi suatu strain yang sangat virulen. Hal ini mungkin
terjadi karena adanya tekanan yang dipicu oleh perubahan praktek-praktek
peternakan babi di Cina, keterkaitan epidemiologis antara tingginya populasi
babi dengan tatanan sistem manajemen dan produksi yang berbeda-beda serta
faktor lingkungan (temperatur dan kelembaban) yang menyebabkan virus tersebut
harus mempertahankan siklus hidupnya dengan melakukan mutasi, delesi ataupun
insersi dan akhirnya virus menjadi lebih virulen. Koinfeksi virus PRRS dengan
virus lain, misalnya swine influenza virus, porcine circo virus dan classical
swine fever atau bakteri dapat berkontribusi terhadap manifestasi klinis
dari virus PRRS yang sangat virulen tersebut (FAO, 2011).
Virus PRRS hanya dapat tumbuh secara in vitro pada biakan sel yang peka
seperti pada makrofag alveolar paru-paru. Penyakit PRRS terutama menyerang babi
dari semua umur, namun yang paling rentan terserang adalah babi yang berumur
muda.
Kejadian PRRS terutama di pengaruhi oleh faktor
dan kondisi lingkungan. Kondisi saat dan pasca melahirkan menyebabkan
terjadinya stres sehingga kemungkinan terinfeksi virus PRRS menjadi meningkat.
Faktor lingkungan kandang yang kotor dikarenakan sistem peternakan tradisonal
sehingga sirkulasi udara dan sanitasi buruk menyebabkan penularan virus PRRS
meningkat. Penyaringan udara telah terbukti efektif
dalam pencegahan penularan melalui udara. Namun biayanya sangat tinggi (Otake et
al., 2003). Kemudian lalu lintas ternak yang bebas keluar masuknya babi baru dalam
kawanan serta kendaraan yang digunakan untuk mengangkut babi dari satu
peternakan ke peternakan yang lain juga merupakan salah satu faktor penularan
virus PRRS. Transportasi dengan tindakan biosekuriti
tidak memadai (truk dicuci) memainkan peran penting dalam penularan virus dari
peternakan ke peternakan (Dee
et al., 2005).
Penularan
virus ini diketahui dilakukan melalui cara langsung dan tidak langsung. Sejauh
ini cara yang paling utama
adalah transmisi
dari babi ke babi. Virus menyebar relatif cepat dalam sebuah peternakan yang
terinfeksi, dan penyebaran ini umumnya
melalui kontak langsung (Wills
et al., 1997).
PRRS dapat ditularkan melalui
pernafasan, udara tercemar merupakan cara paling potensial dalam penularan
virus. Penularan lainnya melalui semen saat kawin alam ataupun saat inseminasi
buatan. Air mani yang terkontaminasi memainkan peran
penting dalam pengenalan virus ke dalam kawanan negatif (Benfield et
al., 2000). Transmisi tidak langsung dari virus PRRS
melibatkan vektor, fomites, dan menyebar melalui udara (Otake et
al., 2002). Vektor dianggap sebagai salah satu cara penularan virus PRRS. Arthropoda dianggap vektor dalam transmisi PRRSv, tetapi hanya
transmisi mekanik (Otake et al., 2010; Pitkin et al., 2009).
Penyakit ini dapat bersifat imunosupresif karena
babi yang terserang PRRS dapat meningkatkan infeksi penyakit lainnya yang
diakibatkan bakteri Haemophilus parasui,
Streptococcus suis, Salmonella spp, Pasteurella multocida atau Actinobacillus pleuropneumoniae. Begitu
juga dengan infeksi terus menerus dari PRRS dan Streptococcus suis akan meningkatkan mortalitas.
Gejala Klinis
Manifestasi klinis
penyakit PRRS pada babi secara umum tergantung pada tipe virus dan tingkat
patogenitas virus. Gejala klinis yang ditimbulkan sangat bervariasi dari
asimptomatik sampai dengan gejala yang multisistemik. Secara umum gejala klinis
terbagi dalam bentuk gangguan reproduksi dan pernafasan (Hirose et al.,1995).
Kegagalan
reproduksi dan penyakit pernafasan adalah dua komponen utama dari manifestasi
klinis infeksi virus PRRS. Dalam kawanan, babi di semua tahapan produksi bisa terinfeksi
bersamaan atau berurutan. Presentasi klinis sangat bervariasi dari kawanan dari
infeksi tanpa gejala klinis yang jelas untuk wabah menyebabkan angka kematian
yang tinggi. Karakteristik keparahan tergantung pada strain virus dan status
kekebalan kawanan, serta kehadiran infeksi sekunder dan faktor
manajemen (Zimmerman et al., 1997). Pada hari-hari
berikutnya terjadi lonjakan aborsi, peningkatan jumlah bayi lahir mati dan mummifikasi fetus,
neonatus viabilitas rendah dan tinggi angka kematian pra-sapih merupakan
karakteristik dari wabah PRRS parah di kawanan pembibitan.
Virus PRRS menyebabkan kegagalan pernafasan pada babi neonatus, aborsi pada induk bunting (Blaha 2000), gangguan multisistem setelah masa sapih dan penggemukan (Burch 2008). Penyakit ini dapat ditularkan melalui air liur (Prickett et al., 2008.), semen (Yaeger et al., 1993), dan alat transportasi yang tercemar virus (Dee et al,. 2007). Hal itu yang memudahkan penyebaran penyakit PRRS ke peternakan di negara lain terutama yang mengimpor semen untuk bibit babi unggul. Penyebaran
dini dari pejantan dapat dideteksi
melalui pemeriksaan darah yang diambil
dengan teknik apus darah dari arteri aurikularis
(Broes et al,. 2007). Adanya gejala demam pada pejantan tidak dapat digunakan sebagai patokan untuk diagnosis PRRS (Reicks et al. 2006).
Sejumlah besar ternak kembali ke performa reproduksi
yang normal, sementara kawanan lainnya tidak pernah mencapai tingkat performa
seperti sebelum infeksi (Dee,
1997). Presentasi karakteristik tanda-tanda klinis pada
babi muda di pembibitan adalah sebagai berikut: anoreksia diikuti dengan demam,
gangguan pernapasan, batuk, dan tingkat pertumbuhan yang berubah. Dalam
beberapa kawanan morbiditas berjalan setinggi 30% dengan mortalitas 10%.
Angka-angka ini dapat bervariasi, dan dipengaruhi oleh infeksi sekunder dengan Streptococcus suis, Hemophilus parasuis,
Actinobacillus suis, dan lain-lain (Zimmerman et al., 1997)
Diagnosa
Metode
diagnostik telah dikembangkan dan disempurnakan. Sampel jaringan dari paru-paru, kelenjar getah bening, hati, otak,
timus, limpa, dan ginjal diberi formalin untuk evaluasi mikroskopis dan imunohistokimia
(IHC). Metode ini memungkinkan visualisasi dari sel-sel yang mengandung antigen
virus PRRS dalam sitoplasma (Magar et al., 1993).
Antibodi fluoresen (FA) dan uji IHC dapat
digunakan untuk mendeteksi antigen virus PRRS dalam jaringan. Teknik FA adalah tes yang murah dan cepat digunakan
untuk mendeteksi antigen virus pada paru-paru beku dan jaringan limpa. Tes ini
sangat spesifik tetapi sangat tidak sensitif, dan hasil tes dipengaruhi oleh autolisis jaringan. Tes IHC lebih
sensitif dibandingkan FA tetapi lebih
mahal dan memakan waktu (Magar et al., 1993).
Polymerase chain reaction
(PCR) merupakan metode cepat karena tidak memerlukan isolasi virus dalam kultur sel. Secara umum,
tes PCR dianggap sangat sensitif dan sangat spesifik (Cristopher-Hennings et al., 2001). Hal ini penting untuk diingat bahwa hasil positif pada PCR menunjukkan
adanya RNA virus dan tidak selalu menunjukkan adanya virus PRRS hidup (Bautista et al., 1993).
Serologi adalah metode diagnostik yang paling
umum digunakan oleh dokter hewan lapangan karena serum mudah dikumpulkan dan disimpan.
Ada lima tes serologi digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap virus PRRS: indirect fluorescent antibody (IFA), enzyme linked uji immunosorbant (ELISA),
blocking
ELISA, serum netralisasi virus (VN) dan immunoperoxidase monolayer assay (IPMA). ELISA komersil yang tersedia dianggap sangat sensitif dan spesifik (Albina, 1997).
Kontrol
Setelah diagnosis infeksi PRRS ditentukan dapat
dilakukan strategi yang tepat untuk mengendalikan penyebaran virus dan
mengurangi efek klinis dari penyakit ini. Tujuan jangka panjang dari
pengendalian PRRS di sebuah peternakan adalah untuk menghentikan penyebaran
dari operator terhadap hewan rentan. Penyebaran penyakit di kawanan pembibitan
mungkin lambat, tapi babi tetap dapat menularkan untuk jangka waktu yang lama.
Hal ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada sekelompok babi naif dalam
kawanan pembibitan positif. Infeksi terus menerus dari hewan baru akan memperpanjang
infeksi. Berbagai strategi untuk mengontrol PRRS telah dikembangkan, termasuk
depopulasi lengkap dan re-populasi atau penutupan kawanan dan rollover (Kittawornrat et al., 2013), isolasi pengembangan emas/
aklimatisasi (Corzo et al., 2010), depopulasi
parsial, all-in / all-out (AIAO) aliran babi , dan vaksinasi (Dee et al., 2002). PRRS merupakan wabah yang sangat merusak di peternakan babi (Zhang and Kono, 2012). Untuk mengendalikan PRRS di Vietnam, tiga jenis
strategi kontrol yang available1): i) stamping
out (SO), atau pemusnahan semua babi yang terinfeksi; ii) vaksinasi
strategis (SV), yang berarti pemusnahan semua babi yang terinfeksi dan
vaksinasi babi rentan dengan vaksinasi yang optimal); iii) vaksinasi
pencegahan, yang mengacu pada vaksinasi semua babi sebelum wabah terjadi.
Eliminasi
Hambatan
dalam pemberantasan PRRS adalah kemampuan virus untuk menyebabkan infeksi
persisten pada babi (Zimmerman
et al., 1997). Strategi
pemberantasan yang telah dijelaskan meliputi; depopulasi dan re-populasi seluruh
kawanan, pengujian dan pemusnahan, penutupan kawanan
dan depopulasi parsial
Dampak Kerugian Ekonomi PRRS
Penyakit PRRS mempunyai dampak ekonomi yang luas pada
peternakan babi di Eropa, Amerika Utara, dan Cina. Kerugian akibat penyakit ini
terutama akibat kematian, abortus, dan mumifikasi fetus, serta biaya pengobatan
yang tinggi karena morbiditas dapat mencapai 100% serta biaya untuk sanitasi.
Kerugian lain adalah anak babi yang lahir dari induk yang terinfeksi biasanya
lemah dan kerdil sehingga feed conversion rate (FCR) menjadi tinggi
(Neumann et al., 2005). Kerugian akibat wabah virus PRRS dapat mencapai
$ 236/babi betina dewasa atau sekitar 600 juta dolar per tahun untuk produksi
babi di seluruh dunia (Molenpkam et al., 2013).
Penyakit porcine reproductive and respiratory
syndrome (PRRS) sepantasnya mendapat perhatian di Indonesia. Genotipe virus
PRRS yang ada di Indonesia belum diketahui. Kemungkinan adanya HP-PRRS perlu
diungkapkan karena dampak ekonominya yang besar bagi industri babi. Informasi
tentang hal tersebut sangat bermanfaat dalam kaitan surveilans, pencegahan dan
penanggulangan penyakit babi.
Parameter ekonomi yang
dapat terukur : peningkatan mortalitas, dan meningkatkan penyakit
pernapasan. Penelitian telah dilakukan untuk membangun kerugian ekonomi di
wabah PRRS akut dan dalam kawanan terinfeksi endemik. Polson (1992) menerbitkan
sebuah studi mengenai dampak ekonomi dari PRRS dengan penurunan laba karena wabah PRRS adalah US $ 236/ babi betina,
yang mewakili 80% pengurangan keuntungan yang diharapkan pada tahun wabah.
Penelitian yang sama memperkirakan biaya infeksi PRRS pada populasi petani finisher untuk rata-rata $
6,25-15,25 per babi (gabungan pembibitan dan finishing).
Kerugian
ekonomi yang terkait dengan ternak pembibitan yang terinfeksi diperkirakan PRRS
mengakibatkan kematian meningkat (dari 1,9% menjadi 10,2%), gain harian
rata-rata berkurang (0,38-0,26 kg / d), peningkatan biaya pengobatan per babi
(dari $ 0,73 ke $ 18,21) dan efisiensi pakan dikurangi (pakan untuk mendapatkan
rasio 1,77-1,91) (Polson et
al., 1992).
Penyakit PRRS telah
dilaporkan menyebar di seluruh dunia dan menimbulkan kerugian ekonomi yang
besar pada peternakan babi akibat kegagalan pernafasan pada neonatus dan aborsi pada induk (Blaha 2000). Peneliti lain melaporkan pada babi penderita PRRS terjadi postweaning syndrome wasting multisystemic, kelemahan, dispnea, limfadenopati, diare, dan ikterus (Allan dan Ellis, 2000). Penyebaran penyakit dilaporkan melalui semen, alat angkut, muntahan, insekta, burung, aerosol, dan air liur (Dee et al., 1995; dan
2007). Virus PRRS dapat diisolasi dari serum
12 jam setelah infeksi (Rossow et al., 1995),
sedangkan pada babi pejantan dilaporkan
bervariasi dari satu sampai 14 hari
(Christopher-Henning et al., 1995; Prieto et al.,2004).
Virus masih terdeteksi sampai lima bulan pada
eksudat kripta tonsil (Fangman et al.,
2007)
1. Kerugian Ekonomi Langsung
a. Kerugian
pada sistem produksi peternakan
Kerugian ekonomi akibat
PRRS pada sistem produksi peternakan diantaranya meningkatnya angka mortalitas
(dari 1,9 % menjadi 10,2%), penurunan average daily gain (0,38-0,26 kg/hari),
penurunan efisiensi pakan (untuk mendapatkan rasio 1,77-1,91), kegagalan reproduksi dengan wabah aborsi pada
kebuntingan akhir, peningkatan jumlah bayi lahir mati dan mummifikasi fetus,
neonatus lemah, tingginya angka kematian pra-sapih, dan tingkat pengembalian estrus
yang lama (Polson et al., 1992)
b. Kerugian
pada pengeluaran ekstra
Kerugian ekonomi akibat PRRS pada
pengeluran ekstra diantaranya peningkatan biaya pengobatan per babi (dari $
0,73 ke $ 18,21) (Polson et al., 1992), depopulasi
seluruhnya dan re-populasi atau penutupan kawanan dan rollover, depopulasi
parsial , all-in / all-out (AIAO) aliran babi , vaksinasi, pengendalian vektor
dan desinfeksi-biosekuriti.
2. Kerugian
ekonomi tidak langsung
Kerugian ekonomi tidak
langsung berpengaruh terhadap ekonomi dalam negeri berupa hilangnya peluang
untuk ekspor
Upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari kerugian ekonomi tinggi pada peternakan babi adalah para peternak dianjurkan menerapkan manajemen peternakan yang lebih baik dan melakukan vaksinasi terhadap PRRS. Penutupan kandang selama 6-9 bulan mampu menghilangkan komtaminasi virus PRRS yang telah terjadi pada kandang (Schaefer and Morrison, 2007). Penerapan
sanitasi, penyemprotan alat angkut dengan air
panas mampu menekan kontaminasi virus PRRS
(Dee et al., 2007). Babi-babi peternakan
rakyat juga direkomendasikan untuk divaksinasi
untuk memutus siklus penyebaran virus, disamping
peran sosiokultural babi dalam komunitas
tertentu, terutama sebagai komponen utama dari jaring pengaman sosial. Pada calon pejantan harus dilakukan penyaringan awal utuk memastikan bebas infeksi virus PRRS (Reicks et al., 2006).
Hipotesis
Porcine reproductive and respiratory syndropme (PRRS) menimbulkan kerugian ekonomi
yang sangat besar terhadap peternakan babi di Sumatera Utara.
BAB
III
MATERI DAN METODE
Perkiraan
dampak ekonomi akibat kejadian PRRS ini dilakukan dengan pengumpulan data dan
literatur terkait, baik dari data statistik milik pemerintah maupun hasil
penelitian dan kajian dari dalam dan luar negeri. Pengendalian penyakit yang
tidak dilakukan analisa ekonomi terhadap biaya dan manfaat pengendalian akan
menyebabkan penggunaan anggaran pembangunan yang sangat terbatas menjadi tidak
efisien (Kusbianto, 2010).
Dalam
melakukan perhitungan kerugian ekonomi akibat suatu penyakit dapat menggunakan
dua pendekatan metode perhitungan dengan melakukan perhitungan semua kerugian ekonomi langsung dan kerugian
ekonomi tidak langsung yang diakibatkan oleh penyakit PRRS. Metode ini untuk mengetahui kerugian ekonomi
akibat suatu penyakit. Perhitungannya dengan menetapkan beberapa parameter
ekonomi penting sebagai dasar perhitungan.
·
Kerugian Langsung
Parameter untuk
perhitungan kerugian langsung dapat berupa mortalitas, morbiditas, prevalensi
dan parameter epidemiologi lainnya, bisa juga berdasarkan beberapa journal
ataupun penelitian-penelitian teknis dari penyakit tersebut.
·
Kerugian tidak Langsung
Untuk melakukan
perhitungan kerugian ini dengan memperhatikan pengaruh penyakit tersebut terhadap
ekonomi dalam suatu negara.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Analisis
Perkiraan Dampak Ekonomi Penyakit PRRS
Dari studi literatur diperoleh
data-data sebagai bahan untuk melakukan analisa terhadap perkiraan terhadap
dampak kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh penyakit PRRS di Indonesia khususnya Sumatera Utara.
Tabel 1. Populasi
babi dari tahun 2011-2015 pada masing-masing provinsi (Ditjen PKH, 2015)
Tabel
2. Pengeluaran babi dari tahun 2011-2015 pada masing-masing provinsi (Ditjen
PKH, 2015)
Tabel 3.
Situasi peternakan babi di Sumatera Utara
No
|
Parameter
|
Satuan
|
Tahun
|
Simbol
|
Jumlah
|
Sumber
|
1.
|
Populasi
|
Ekor
|
2015
|
Ba
|
1.159.027
|
Statistik
Peternakan dan Keswan, Ditjen PKH 2015
|
|
Anak/ weaning
|
Ekor
|
2015
|
BaW
|
344.926
|
|
Muda/ yearling
|
Ekor
|
2015
|
BaY
|
418.061
|
|
Dewasa/ mature
|
Ekor
|
2015
|
BaM
|
396.039
|
2.
|
Produksi daging
|
Kg
|
2015
|
Eks
|
41.378.000
|
Tabel 4. Parameter epidemiologi
No
|
Parameter Epidemiologi
|
Simbol
|
Jumlah
|
Sumber
|
1
|
Proporsi hewan terkena PRRS di daerah tertular (%)
|
R
|
8,9
|
Suartha dkk.,
2013
|
|
Anak/ weaning
|
R1
|
20-100
|
An et al., 2010
|
|
Muda/ yearling
|
R2
|
40
|
Evan et al., 2008
|
|
Dewasa/ mature
|
R3
|
35,1
|
Velasova et al., 2012
|
2
|
Penurunan
average daily gain (ADG) (hari)
|
L
|
0,38
|
Polson et al., 1992
|
3
|
Penurunan
produksi daging (%)
|
N
|
50
|
Dee & Joo, 1994
|
4
|
Angka keguguran (%)
|
K
|
8
|
Polson et al., 1992
|
5
|
Angka still birth (%)
|
S
|
10
|
Dee & Joo, 1994
|
|
|
|
20
|
EEC, 1991
|
|
|
|
100
|
Zhou & Yang , 2010
|
6
|
Angka mortalitas (%)
|
|
|
|
|
Anak/ weaning
|
F1
|
60
|
Tian et al., 2007
|
|
Muda/ yearling
|
F2
|
20
|
Zhou & Yang 2010
|
|
Dewasa/ mature
|
F3
|
10,2
|
Polson et al., 1992
|
7
|
Babi tidak laku (%)
|
H
|
30
|
Dee & Joo, 1994
|
Tabel 5. Parameter ekonomi
No
|
Parameter Ekonomi
|
Simbol
|
Jumlah
|
1
|
Harga babi dewasa per ekor (Rp)
|
M
|
3.200.000
|
2
|
Harga babi muda per ekor (Rp)
|
Y
|
1.200.000
|
3
|
Harga genjik per ekor (Rp)
|
A
|
600.000
|
4
|
Harga daging per kg (Rp)
|
D
|
32.000
|
5
|
Biaya pengendalian vektor (Rp)
|
P
|
20.000
|
6
|
Biaya vaksinasi per ekor (Rp/ 3 dosis)
|
V
|
58.500
|
7
|
Biaya biosekuriti perekor (Rp)
|
B
|
25.000
|
8
|
Biaya jasa dokter hewan dan pengobatan
perekor (Rp)
|
J
|
200.000
|
9
|
Biaya surveilan per ekor (Rp)
|
E
|
50.000
|
Tabel
6. Perhitungan Kerugian Ekonomi Langsung
No
|
Jenis
Kerugian
|
Rumus
|
Faktor
|
Populasi
(ekor)
|
Biaya
(Rp)
|
1
|
2
|
3
|
4
|
Perhitungan Kerugian Langsung pada Sistem Produksi
Peternakan
|
a
|
Kematian Babi (genjik)
|
F1xAxBaW
|
F1
|
A
|
|
|
BaW
|
|
|
|
|
0,6
|
600000
|
|
|
344.926
|
123.173.360.000
|
b
|
Kematian Babi Muda
|
F2xYxBaY
|
F2
|
Y
|
|
|
BaY
|
|
|
|
|
0,2
|
1000000
|
|
|
418.061
|
83.612.200.000
|
c
|
Kematian Babi Dewasa
|
F3xMxBaM
|
F3
|
M
|
|
|
BaM
|
|
|
|
0,102
|
3200000
|
|
|
396.039
|
129.267.129.600
|
d
|
Penurunan produksi daging
|
NxDxEks
|
N
|
D
|
|
|
Eks
|
|
|
|
|
0,5
|
32000
|
|
|
41.378.000
|
662.048.000.000
|
e
|
Keguguran
|
KxAxBaW
|
K
|
A
|
|
|
BaW
|
|
|
|
|
0,08
|
600000
|
|
|
344.926
|
16.556.448.000
|
f
|
Stiil birth
|
SxAxBaW
|
S
|
A
|
|
|
BaY
|
|
|
|
|
0,1
|
600000
|
|
|
418.061
|
25.083.660.000
|
g
|
Babi tidak laku
|
HxMxBaM
|
H
|
M
|
|
|
BaM
|
|
|
|
|
0,3
|
3200000
|
|
|
396.039
|
380.197.440.000
|
Total
Kerugian Langsung pada Sistem Produksi Peternakan
|
1.419.938.237.600
|
Perhitungan Kerugian
Langsung Akibat Pengeluaran Ekstra
Tabel
7. Perhitungan Kerugian Langsung akibat Pengeluaran Ekstra
Perhitungan Kerugian Langsung Akibat Pengeluaran
Ekstra
|
|
|
|
|
|
No
|
Jenis
Kerugian
|
Rumus
|
Faktor
|
Populasi
(ekor)
|
Biaya
(Rp)
|
1
|
2
|
3
|
4
|
a
|
Vaksinasi
|
VxVakxBa
|
V
|
Vak
|
F
|
|
Ba
|
|
|
|
|
58500
|
0,7
|
|
|
1159027
|
47.462.155.650
|
b
|
Jasa Pengobatan
|
RxJxBa
|
R
|
J
|
|
|
Ba
|
|
|
|
|
0,089
|
200000
|
|
|
1159027
|
20.630.680.600
|
c
|
Surveillance
|
ExRxBa
|
E
|
R
|
|
|
Ba
|
|
|
|
|
50000
|
0,089
|
|
|
1159027
|
5.157.670.157
|
d
|
Biosekuriti dan pengendalian vektor
|
(B+P)xBa
|
B
|
P
|
|
|
Ba
|
|
|
|
25000
|
20000
|
|
|
1159027
|
53.156.215.000
|
Total
Kerugian Langsung akibat pengeluaran ekstra
|
125.406.721.407
|
TOTAL
KERUGIAN LANGSUNG
|
1.545.344.959.007
|
Total
kerugian langsung akibat PRRS (per tahun) diperoleh dari kerugian langsung pada
sistem produksi peternakan ditambah dengan kerugian langsung akibat dari
pengeluaran ekstra. Dari perhitungan
diperoleh hasil Rp. 1.419.938.237.600 +
Rp. 125.406.721.407 sehingga total dari kerugian
langsung adalah Rp. 1.545.344.959.007,-
Dalam
hal ini, nilai pengeluaran ekstra merupakan perkiraan yang dikeluarkan untuk
pengendalian dan pencegahan kejadian PRRS. Dari hasil perhitungan kerugaian
langsung dapat dilihat bahwa kerugian lagsung akibat pengeluaran ekstra jauh
lebih kecil dibandingkan dengan kerugian langsung pada sistem peternakan. Hal
ini megindikasikan kemungkinan bahwa sistem pencegahan dan pengendalian PRRS
belum berjalan dengan baik. Nilai dari kerugian ini dapat bertambah besar jika
ditambah dengan nilai kerugian secara tidak langsung seperti larangan ekspor.
DAFTAR PUSTAKA
Albina
E. Epidemiology of porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS): An
overview. 1997. Vet Microb 55: 309-316.
Bautista
EM, Goyal SM, Yoon IJ, Joo HS, Collins JM. Comparison of porcine alveolar
macrophages and CL 2621 for the detection of porcine reproductive and
respiratory syndrome (PRRS) virus and anti-PRRS antibody. 1993. J Vet Diagn
Invest 5:163-165.
Benfield
DA, Nelson C, Steffen M, Rowland RRR. Transmission of PRRSV by artificial
insemination using extended semen seeded with different concentration of PRRSV.
2000. Proc Amer Assoc Swine Pract, pp. 405- 408.
Blaha T. 2000. The
“colorful” epidemiology of PRRS. Vet Res. 31:77–83.
Bierk
MD, Dee S, Rossow K, Otake S, Collins JE, Molitor TW. Transmission of porcine
reproductive and respiratory syndrome virus from persistently infected sows to
contact controls.. 2001. Can J Vet Res 65: 261-266.
Broes A, Caya I, Belanger M. 2007. New blood collection
technique for porcine reproductive and respiratory syndrome virusmonitoring in
boars. J Swine Health and Prod
Corzo
CA, Mondaca E, Wayne S, Torremorrell M, Dee S, Davies P, Morrison RB. Control
and elimination of porcine reproductive and respiratory syndrome virus. 2010.
Virus Res 154:185-192.
Cristopher-Hennings
J,, Holler LD, Benfield DA, Nelson EA. . Detection and duration of porcine
reproductive and respiratory syndrome virus in semen, serum, peripheral blood
mononuclear cells, and tissues from Yorkshire, Hamshire and Landrace boars.
2001. J Vet Diagn Invest 13:133-142.
Dee
S, Torremorell M, Thompson B, Deen J, Pijoan C. An evaluation of
thermo-assisted drying and decontamination for the elimination of porcine
reproductive and respiratory syndrome virus from contaminated livestock
transport vehicles. 2005. Can J Vet Res 69:58-63.
Dee SA, Torrelmorel M, Thompson R, Cano JP, Dee J, Pijoan
C. 2007. Evaluation of the thermo-assisted drying and decotamination system for
sanitation of a full size transport vehicle contaminated with porcine
reproductive and respiratory syndrome virus. J Swine Health and Prod 15(1):12-
18.
Dee
SA. An overview of production systems design to prepare naïve replacement gilts
for impending PRRS virus challenge: A global perspective. 1997. J Swine Health
Prod 5(6): 231-239.
Dirjen PKH, 2015. Statistik Peternakan dan Kesehatan
Hewan.
FAO (2011). Focus on: Porcine reproductive and
respiratory syndrome (PRRS) virulence jumps and persistent circulation in
Southeast Asia. EMPRES, Issue No. 5 – 2011
Fangman TJ, Kleiboeker SB, Coleman M. 2007. Tonsilar cryt
exudate to evaluate shedding and transmission of porcie reproductive and
respiratory syndrome virus after inoculation with live field virus or
vaccination with modifield live virus
vaccine. J Swine Health and Prod. 15:219-223.
Keffaber.
K.K. (1989). Reproductive failure of unknown etiology. Am. Assoc. Swine Pract.
Newsl l. 1-10
Ketut
Santia, A.P., C. Morrys., N. Dibia dan Soeharsono. (1999). Survei serologis
antibody virus Porcine Reproductive and
Respiratory Syndrome di daerah Nusa Tenggara Timur.
BPPH VI Denpasar 1-6
Kittawornrat
A, Panyasing Y, Goodell C, Wang C, Gauger P, Harmon K, Rauh R, Desfresne L,
Levis I, Zimmerman J. Porcine reproductive and respiratory syndrome virus
(PRRSV) surveillance using pre-weaning oral fluid samples detects circulation
of wild-type PRRSV. 2013. Vet Microbiol168: 331-339.
Kusbianto Erwin. 2010. Analisis Biaya Manfaat Dan Strategi Pengendalian Antraks Di Pulau Sumbawa
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Magar
R, Larochelle R, Robinson Y, Dubuc C. Immunohystochemical detection of porcine
reproductive and respiratory syndrome virus using colloidal gold. 1993. Can J
Vet Res 61:69-71.
Neumann
et al., 2005) Neumann EJ, Kliebensteins JB,
Johnson CD, Mabry JW, Bush EJ, Seitzienger AH, Green AL, Zimmermann JJ. 2005.
Assesment of economic impact of porcine reproductive and respiratory syndrome
on swine production in United State. JAVMA. 227: 385-392
Otake
S, Dee SA, Moon RD, Rossow KD, Trincado C, Pijoan C. Evaluation of mosquitoes, Aedes
vexans, as biological vectors of porcine reproductive and respiratory
syndrome virus. Can J Vet Res. 2003 Oct;67(4):265-70
Otake
S, Dee SA, Jacobson L, Pijoan C, Torremorell M. Evaluation of aerosol
transmission of porcine reproductive and respiratory syndrome virus under
controlled field condition. 2002. Vet Rec 150: 804- 808.
Otake
S, Dee S, Corzo C, Oliveira S, Deen J. Long-distance airborne transportation of
infectious PRRSV and Mycoplasma hyopneumoniae from a swine population
infected with multiple viral variants. 2010. Vet Microb 145:198-208.
Pitkin
A, Deen J, Otake S, Moon R, Dee S. Further assessment of houseflies (Musca
domestica) as vectors for the mechanical transport and transmission of
porcine reproductive and respiratory syndrome virus under field conditions.
2009. Can J Vet Res. 73(2):91-6.
Polson
DD, Marsh WE, Dial GD, Christianson WT. Financial impact of porcine epidemic
abortion and respiratory syndrome (PEARS). 1992. Proceedings of the
International Pig Veterinary Society Congress.132.
Prickett J, Simer R, Christopher-Hennings J, Kyoung-Jin
Y, Evans RB, Zimmermann JJ. 2008. Detection of porcine reproductive and
respiratory syndrome virus infection in porcine oral fluid sample : a
longitudinal study under experimental
conditions. JVDI. 20:156-163.
Prieto et al.,2004 Prieto C, Garcia C, Simatto I,
Castro JM. 2004. Temporal shedding and persistence of porcie reproductive and
respiratory syndrome in boars. Vet Rec.154:824-827.
Schaefer N and Morrison R. 2007. Effect on total pigs
weaned of herd closure for elimination porcine reproductive and respiratory
syndrome virus. J Swine Health and Prod.15:152-155.
Suartha.
IN, Anthara. AMS, Wirata. IW, Sari TK, Dewi. NMRK, Narendra. IGN, Mahardika.
IGN. Survei Penyakit Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome pada
Peternakan Babi di Bali. Jurnal Veteriner Maret 2013. Vo 14 No.1:24-30
Sumaryani
dkk, 1998. Sumaryani, D, H., S. Irianti.. R. Sinurat, (1998).
Seroprevalensi porcine reproductive and respiratory syndrome di daerah Sumatera
Utara, BPPH I Medan.
Tian,
K., Yu, X., Zhao, T., Feng, Y., Cao, Z., Wang, C., Hu, Y., Chen, X., Hu, D.,
Tian, X.,Liu, D., Zhang, S., Deng, X., Ding, Y., Yang, L., Zhang, Y., Xiao, H.,
Qiao, M., Wang, B.,Hou, L., Wang, X., Yang, X., Kang, L., Sun, M., Jin, P.,
Wang, S., Kitamura, Y., Yan, J. andGao, G.F. (2007). Emergence of fatal PRRSV
variants: unparalleled outbreaks of atypical PRRS
in China and molecular dissection of the unique hallmark. PLoS One. 13:2(6):
e526.
Tun H.M., Shi M., Wong C.L.Y., Ayudhya S.N.N.,
Amonsin A., Thanawongnuwech R., and Leung F.C.C. (2011). Genetic diversity and
multiple introductions and respiratory syndrome viruses in Thailand. Virology
Journal 2011, 8:164. doi:10.1186/1743-422X-8-164.
Wills
R W, Zimmerman JJ, Swenson SL,Yoon K-J, Hill HT, Bundy DS, McGinley MJ.
Transmission of porcine reproductive and respiratory sydrome virus by direct
close or indirect contact. 1997. J Swine Health Prod. 5:213- 218.
Yaeger MJ, Prieve T, Collins J, Christopher- Hennings J,
Nelson E, Benfield D, 1993. Evidence for transmission of porcine reproductive
and respiratory syndrome (PRRS) virus in boar semen. J. Swine Health
Prod. 1(5):7-9.
Zang.
H and Kono. H. Economic Impact of Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome
(PRRS) Outbreak in Vietnam Pig Production. 2012. Ttropical Agricultural
Research Vol. 23 (2) : 152-159
Zimmerman
et al., 1997 Zimmerman JJ, Yoon KJ, Wills
RW, Swenson SL. 1997. General overview of PRRSV: A perspective from the United
States. Vet Microbiol. 55:187–196