Jumat, 02 September 2016

Gambaran Titer Antibodi Avian Influenza dengan Metode HA-HI Pada Ayam Bangkok yang Dilalulintaskan Masuk Ke Wilayah Provinsi Bengkulu



Gambaran Titer Antibodi Avian Influenza dengan Metode HA-HI Pada Ayam Bangkok yang Dilalulintaskan Masuk Ke Wilayah Provinsi Bengkulu

drh Iyan Kurniawan, Medik Veteriner Pertama
Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Bengkulu

Ringkasan
Permasalahan flu burung, baik pada unggas maupun pada manusia merupakan permasalahan yang harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Hal ini terkait dengan semakin meluasnya penularan dan penyebaran flu burung di Indonesia. Mobilitas manusia, produk unggas, dan migrasi unggas ke wilayah Provinsi Bengkulu memungkinkan penyebaran virus Avian influenza. Mudahnya tranportasi lokal dan regional akan lebih memungkinkan penyebaran virus ke area yang lebih luas. Materi penelitian menggunakan ayam bangkok yang dilalulintaskan masuk kewilayah Provinsi Bengkulu sebanyak 50 sampel ditahun 2015. Metode penelitian menggunakan Uji Haemaglutination Inhibition (HI Test). Hasil penelitian menunjukan bahwa 50 sampel  mengandung negatif antibodi Avian Influenza, dan titer antibodi 20 sehingga antibodi yang dimiliki ayam tidak protektif terhadapat Avian Influenza.
Kata Kunci : Antibodi, Flu Burung, Mobilitas, Uji Haemaglutination Inhibition



PENDAHULUAN

Permasalahan flu burung di Indonesia baik pada unggas maupun pada manusia merupakan permasalahan yang harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Hal ini terkait dengan semakin meluasnya penularan dan penyebaran flu burung di Indonesia. Data mencatat kerugian kematian unggas periode Agustus – Desember 2003 sebanyak 4.179.270 ekor, Januari - Desember 2004 sebanyak 5.014.273 ekor, Januari - Desember 2005 mencapai 1.066.372 ekor dan Januari - Desember 2006 mencapai 1.058.157 ekor (Sudarsono 2007), sedangkan kasus flu burung pada manusia hingga saat ini kasusnya semakin bertambah. Sehingga organisasi kesehatan dunia atau WHO (World Health Organization) mengkhawatirkan virus flu burung akan menjadi ancaman serius di kawasan Asia. Bahkan organisasi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menyatakan flu burung lebih berbahaya dari penyakit SARS (Severe Acut Respiratory Syndrome) akibat potensi atau kemampuan virus ini untuk mengakibatkan pandemi atau peristiwa letupan dan penyebaran penyakit menular yang terjadi secara cepat dan melintas secara luas melewati batas negara dan benua (Soejoedono dan Handharyani 2005). Diperkirakan sedikitnya 7 juta orang akan meninggal dunia. (Dirjend PP dan PL, Depkes 2007)
Selain itu, dampak berikutnya akibat flu burung adalah kerugian ekonomi yang sangat besar, khususnya bagi peternak unggas. Diperkirakan total kerugian peternak di Indonesialebih dari Rp.1 trilliun untuk periode Januari - Maret 2007 (Sudarsono 2007). Juga dilaporkan hingga Agustus 2006, kerugian akibat flu burung, Thailand mengalami kerugian sebesar 1,2 miliar dolar AS dan Vietnam 200 juta dolar AS, angka ini belum termasuk kerugian bagi negara - negara lainnya yang juga sangat besar akibat pemusnahan dan kematian unggas dengan tingkat kematiannya hingga 95 % (Siegel 2006). Bahkan dalam perdagangan unggas Internasional, ketakutan masyarakat untuk mengkomsumsi produk unggas (daging ayam dan telur) sangat berpengaruh pada bisnis industri perunggasan secara global, seperti halnya masalah penyakit Sapi Gila (Bovine Spongioform Encephalopathy) yang melanda Amerika Utara(Aho 2004).
Menurut Soejoedono dan Handharyani (2005) akibat flu burung dibedakan menjadi dua,yakni pada ternak unggas meliputi: unggas yang terkena penyakit flu burung akan menunjukkan gejala lengkap, mulai pernapasan, kemampuan produksi ayam, pencernaan dan syaraf yang berdampak pula dengan rusaknya sistem dan organ dalam termasuk limfoid, seperti bursa fabricius dan timus. Sedangkan gejala klinis flu burung pada manusia adalah seperti terkena flu biasa yang diikuti dengan kenaikan suhu tubuh sampai 39ºC, sakit tenggorokan, batuk, sesak napas, dan keluar lendir bening dari hidung. Kondisi ini biasanya diperparah jika penderita tidak memiliki nafsu makan ( anoreksia ), diare, muntah dan peradangan paru - paru (pneumonia). Apabila tidak dilakukan penanganan yang baik maka dapat menyebabkan meninggal dunia.
Dampak lainnya yang juga akan mengikuti akibat flu burung adalah kerugian sektor pariwisata, turunnya investor diberbagai bidang, ditolaknya beberapa komoditi ekspor Indonesia, berimplikasi pada aspek sosial, kesejahteraan masyarakat, kondisi dan stabilitas nasional terganggu (Siegel 2006).
Mobilitas manusia, produk unggas, dan migrasi unggas ke wilayah Provinsi Bengkulu memungkinkan penyebaran virus Avian influenza. Mudahnya tranportasi lokal dan regional akan lebih memungkinkan penyebaran virus ke area yang lebih luas. Salah satu cara untuk mengetahui penyebaran virus pada suatu daerah dapat dilakukan surveilans keterparan virus pada hewan. Secara alami, keterpaparan virus Avian influenza dapat membangkitkan respon pertahanan tubuh, yaitu pertahanan seluler dan pertahanan humoral. Pertahanan seluler diperankan oleh sel pertahanan inang yang ditujukan untuk membunuh virus yang berada di dalam sel inang. Pertahan humoral diperankan oleh antibodi untuk menangkap virus yang terlarut di dalam cairan seperti di dalam darah, antibodi dapat mengenal antigen yang merangsang pembentukannya.

BAHAN DAN METODE

Ayam Bangkok yang dilalulintaskan masuk ke Provinsi Bengkulu
Sampel sebanyak 50 ekor ayam bangkok diambil sepanjang tahun 2015 berasal dari berbagai wilayah di Indonesia yang dilalulintaskan masuk ke wilayah Provinsi Bengkulu. Sampel yang diperiksa berupa serum darah ayam yang diambil dari vena axilaris pada kiri atau kanan bawah sayap ayam. Sampel diambil dan diperiksa di Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Bengkulu.
Uji Haemaglutination Inhibition (HI Test)
Serum di-inaktivasi di waterbath dengan suhu 56° C selama 30 menit. Menyiapkan mikroplate dasar V, baris A digunakan untuk kontrol positif dan baris B digunakan untuk sampel 1, baris C untuk sampel 2 dan seterusnya sesuai dengan jumlah sampel yang akan diuji. Masukkan 25 µl larutan PBS dengan menggunakan mikropipet kedalam setiap sumur baris A, B, C dan seterusnya sesuai dengan jumlah sampel yang akan diuji. Tambahkan 25 µl serum standar Antibodi AI dengan menggunakan mikropipet kedalam sumur  pertama baris A. Tambahkan 25 µl serum sampel dengan menggunakan mikropipet kedalam sumur  pertama baris B untuk sampel no. 1, kemudian pada sumur pertama baris C untuk sampel no. 2 dan seterusnya sesuai dengan jumlah sampel yang akan diuji. Homogenkan campuran larutan PBS dengan serum standar dan PBS dengan serum sampel menggunakan Mutichannel mikropipet, kemudian pindahkan 25 µl kedalam sumur kedua masing – masing baris. Lakukan hal serupa terhadap sumur-sumur berikutnya untuk memperoleh pengenceran serial hingga sumur kesebelas. Buang 25 µl campuaran Antigen dan PBS dari sumur 11. Sumur 12 digunakan sebagai kontrol SDM.Tambahkan 25 µl Antigen 4 HAU dengan menggunakan multichannel mikropipet pada setiap sumur disemua baris yang digunakan kecuali sumur 12. Mix Mikroplate perlahan dengan mikroshaker kemudian inkubasi selama 30 menit pada suhu kamar. Tambahkan 25 µl larutan SDM 1 % dengan menggunakan multichannel mikropipet pada setiap sumur di semua baris yang digunakan. Mix Mikroplate perlahan dengan mikroshaker kemudian inkubasi selama 30 menit pada suhu kamar (Anonim, 19990.
Apabila titer antibodi ayam menunjukkan positif meningkat mencapai 24 atau lebih, ayam tersebut dinyatakan sebagai ayam yang memiliki kekebalan yang protektif terhadap serangan Avian influenza. Ayam yang memiliki titer antibodi kurang dari 24, maka ayam tersebut dinyatakan sebagai ayam yang bersifat tidak protektif terhadap serangan Avian influenza (OIE, 2000)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pemeriksaan melalui uji HI terhadap 50 serum ayam yang dilalulintaskan masuk ke wilayah Provinsi Bengkulu menunjukkan bahwa  sebanyak 50 sampel negatif mengandung antibodi (100%) sedangkan 0 sampel menunjukan positif (0%) seperti yang ditunjukan pada tabel 1.

Tabel 1. Keberadaan antibodi serum ayam buras terhadap virus Avian Influenza pada ayam yang dilalulintaskan masuk ke Provinsi Bengkulu

Antibodi
Jumlah
(ekor)
Presentase
(%)
Negatif
Positif
50
0
100
0
Total
50
100

            Titer antibodi yang dimiliki oleh ayam bangkok yang dimasukan ke Provinsi Bengkulu sebesar 20 seprti ditunjukan pada tabel 2.

Tabel 2. Titer antibodi ayam bangkok yang dilalulintaskan masuk ke Provinsi Bengkulu
Titer Antibodi
Jumlah (ekor)
Presentase (%)
20
21
22
23
24
25
26
27
28

50
-
-
-
-
-
-
-
-


100
-
-
-
-
-
-
-
-

Total
50
100

Protektivitas titer antibodi menunjukan serum ayam bangkok yang dimasukan ke Provinsi Bengkulu tidak memiliki antibodi yang bisa memberi protektif. Seperti pada tabel 3.

Tabel 3. Protektivitas titer antibodi ayam bangkok yang dilalulintaskan masuk ke wilayah Provinsi Bengkulu

Titer Antibodi
Jumlah (Ekor)
Prosentase (%)
Tidak Protektif (<24)
Protektif (>24)
50
0
100
0
Total
0
0

Menurut panduan dari OIE (2014), uji HI memiliki sensitivitas tinggi karena dapat mendeteksi antigen HA virus AI subtipe H5 secara spesifik. Uji HI lebih spesifik dalam mendeteksi antigen HA yang dimiliki oleh subtipe H5, tetapi sulit membedakan virus AI yang berhasil diisolasi berasal dari subtipe H5N1, H5N2, atau H5N9. Jika hanya didasarkan pada uji HI, amat sulit untuk menentukan jenis subtipe. Oleh karena itu, konfirmasi diagnostik dengan RT-PCR atau pengurutan genetik menjadi syarat mutlak untuk mengarakterisasi subtipe H5N1 (Krafft et al., 2005).
Hasil penelitian menunjukan bahwa ayam bangkok yang dilalulintaskan masuk ke wilayah Provinsi Bengkulu meliliki titer antibodi Avian Influenza 20. Hal ini menunjukan bahwa dalam tubuh ayam yang dilalulintaskan masuk ke wilayah provinsi Bengkulu tidak terdapat antibodi yang menunjukan telah terjadi infeksi atau paparan virus AI Subtipe H5N1 (Elfidasari  et al., 2014). Seperti disebutkan pada tabel 3 bahwa dalam tubuh ayam tidak mempunyai antibodi Avian Influenza sehingga apabila ada kasung lapang, ayam akan mudah sekali tertular Avian Influenza.
Pada Tabel 2 menunjuka titer antibodi 20 hal ini terjadi kemungkinan karena ayam bangkok yang dilalulintaskan masuk ke provinsi bengkulu belum divaksin Avian Influenza atau bisa juga ayam yang di lalulintaskan masuk ke wilayah bengkulu baru divaksin sebelum dilalulintaskan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rahardjo (2004) yang menyatakan, bahwa berdasarkan standar OIE, 3 minggu setelah vaksinasi minimal terbentuk antibodi setinggi 24. Setelah vaksin AI inaktif masuk ke dalam tubuh ayam, maka virusnya tidak perlu bermultiplikasi (memperbanyak diri) tetapi langsung memacu jaringan limfoid tubuh untuk membentuk kekebalan.  

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengujian laboratorium  (HI test) didapatkan hasil (Tabel 1) bahwa ayam yang dilalulintaskan masuk kewilayah bengkulu menunjukan hasil negatif yang berarti ayam bangkok yang dilalulintaskan masuk kewilayah indonesia tidak terinfeksi oleh Avian Influenza. Sedangkan pada Tabel 3 menunjukan hasil ayam yang dilalulintaskan masuk ke wilayah Provinsi Bengkulu tidak memiliki titer antibodi protektif terhadap avian influenza sehingga rentan terkena Avian influenza mengingat di Provinsi Bengkulu Endemis Avian Influenza. Hal ini bisa dijadikan dasar dalam menentukan kebijakan bagi Provinsi Bengkulu dalam pengendalian Avian Influenza di Provinsi Bengkulu.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Bengkulu atas bantuannya dalam penyelesaian penulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aho, P. 2004. The Rippies From Avian Influenza The Future of The World Poultry Industry. Artikel dalam Poultry International edisi Mei 2004.
Anonim,  1999. Manual Standar Metode Diagnosa Laboratorium  Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Kesehatan Hewan Dirjen Peternakan, Deptan.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjend PP dan PL). 2007. Situasi Flu Burung Pada Manusia di Indonesia. Bahan Diskusi FMITFB Wilayah Jawa Bagian Barat dengan Dirjend PP dan PL di Jakarta, 30 Januari 2007.
Elfidasari, Dewi., Riris,L.P., Agridzadana, F. 2014. Deteksi Antibodi Akibat Paparan Virus Subtipe H5N1 pada Unggas Air Domestik di Sekitar Cagal Alam Pulau Dua. Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI SAINS DAN TEKNOLOGI, Vol . 2, No. 4
Krafft, A.E., K.L. Russell, A.W. Hawksworth, S. McCall, M. Irvine, L.T. Daum, and J.L. Taubenberger. 2005. Evaluation of PCR testing of ethanol-fixed nasal swab specimens as an augmented surveillance strategy for influenza virus and adenovirus identification. J. Clin. Microbiol. 4:1768-1775.
OIE, 2005. OIE Manual of Standards for Diagnostic Test and Vaccines, 4th ed
OIE. 2014. Manual of Diagnostic Test and Vaccines for Terrestrial Animal. World Organisation for Animal Health.
Rahardjo Y. 2004. Avian Influenza, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasannya: Hasil Investigasi Kasus Lapangan. Edisi I. PT Gallus Indonesia Utama. Jakarta.

Siegel, MS. 2006. Flu Burung Serangan Wabah Ganas dan Perlindungan Terhadapnya. Bandung: Kaifa
Soejoedono, RD dan Handharyani, E. 2005. Flu Burung. Depok: Penebar  Swadaya
Sudarsono. 2007. Flu Burung Serang 30 Provinsi. Artikel di Koran Seputar  Indonesia 31 januari   2007. Jakarta. Hal:01

Senin, 18 Januari 2016

MENGENAL EKTOPARASIT PADA HEWAN DAN POTENSI KERUGIAN YANG DITIMBULKANNYA



MENGENAL EKTOPARASIT PADA HEWAN
DAN POTENSI KERUGIAN YANG DITIMBULKANNYA
OLEH DRH Iyan Kurniawan

Bab I
Pendahuluan

Latar Belakang
Peternakan merupakan salah satu usaha yang menjadi penopang hidup sebagian besar masyarakat di Indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat indonesia yang bermata pencaharian sebagai peternak. Proses budidaya peternakan yang ideal adalah yang mampu menerapkan praktek manajemen peternakan integral. sering kali dijumpai dilapangan para peternak hanya memelihara ala kadarnya sehingga peternakan belum mampu menjadikan pelakunya sejahtera.
Parasit adalah suatu organisme lebih kecil yang hidup menempel pada tubuh organisme yang lebih besar yang disebut host. Parasit merupakan organisme yang hidupnya merugikan induk semang yang ditumpanginya.Keberadaan parasit dalam tubuh host dapat bersifat sebagai parasit sepenuhnya dan tidak sepenuhnya sebagai parasit. Ada beberapa sifat hidup dari parasit seperti parasit fakultatif, obligat, insidentil temporer dan permanen. Penyebarannya di atas permukaan bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya siklus hidup, iklim, sosial budaya atau ekonomi dan kebersihan. Biasanya hospes atau induk semang yang jadi sasarannya bisa berupa hospes definitif (akhir), insidentil, carrier, perantara dan hospes mekanik.
Salah satu bagian dari manajemen peternakan adalah aspek kesehatan hewan. Lebih kecil lagi tulisan ini akan berusaha membahas gangguan ternak yang merupakan bagian dari ektoparasit yang masih sedikit sekali diperhatikan oleh para pelaku peternakan pada umumnya. Salah satu ektoparasit yang memberikan dampak kerugian tetapi belum diperhatikan adalah tungau, caplak, kutu dan pinjal.  Masyarakat seringkali rancu untuk menyebut binatang kecil yang mengganggu ternak dengan satu sebutan yaitu kutu. Padahal terdapat kemungkinan bahwa binatang pengganggu tersebut dari kelompok yang berbeda. Kelompok hewan yang sering menimbulkan kerancuan dalam penyebutan adalah tungau (mite), caplak (tick), kutu (lice), dan pinjal (flea). Disini akan dibahas mengenai keempat ektoparasit tersebut sehingga dapat memahami dan membedakannya beserta dampak kerugiannya.

Tujuan
Tulisan ini membahas mengenai tentang ektoparasit seperti tungau (mite), caplak (tick), kutu (lice), dan pinjal (flea) beserta perbedaannya. Serta membahas mengenai dampak kerugian yang bisa ditimbulkan.

Manfaat
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi peternak dan masyarakat pada umumnya, sehingga dapat meminimalisir kerugian yang ditimbulkan oleh ektoparasit.

 

Bab II
Materi dan Metode
Tulisan tentang Mengenal Ektoparasit Pada Hewan dan Potensi Kerugian yang  Ditimbulkan  ini di susun berdasarkan studi literatur yang terkait dan sesuai baik melalui buku maupun tulisan ilmiah lainnya yang berupa jurnal dan artikel yang berkaitan. 

 
Bab III
Pembahasan
III.1. Pengertian Parasit
Parasit adalah suatu organisme lebih kecil yang hidup menempel pada tubuh organisme yang lebih besar yang disebut host. Keberadaan parasit dalam tubuh host dapat bersifat sebagai parasit sepenuhnya dan tidak sepenuhnya sebagai parasit. Hal tersebut tergantung dari jumlah, jenis, tingkat kesakitan yang dapat ditimbulkan oleh parasit serta ketahanan tubuh dan nutrisi dalam tubuh induk semangnya. Hubungan host dan parasit dapat bersifat simbiosismutualisme, parasitis, dan parasitosis (Bowmans, 1999).
Banyak parasit memiliki siklus hidup kompleks yang memerlukan beberapa inang untuk pertumbuhan dan reproduksi. Untuk itu, mereka telah memperoleh banyak adaptasi unik yang dapat mengubah perilaku inang dan dengan demikian membuat mereka lebih rentan terhadap predator mereka. Proses ini memungkinkan transmisi dari tahap parasit dari satu inang ke yang lain. Tergantung pada lingkungan hidup parasit, mereka dapat diklasifikasikan sebagai endoparasit dan ektoparasit (Akoso, 1996).

III.2.  Klasifikasi
Tungau, caplak, kutu dan pinjal tergabung dalam satu filum yang sama yaitu Arthropoda. Tungau dan caplak berada dibawah satu kelas (Arachnida) dan anak kelas yang sama yaitu Acari, namun keduanya tergolong dalam suku yang berbeda.  Caplak termasuk dalam golongan suku Ixodidae dan Argasidae sedangkan suku yang lain disebut tungau saja (Krantz, 1978). 
Bagaimana dengan posisi kutu dan pinjal dalam klasifikasi?  Menurut Borror dkk. (1996) kutu dan pinjal termasuk dalam kelas Insekta (serangga) namun berbeda bangsa. Kutu seringkali dibagi menjadi dua bangsa yang terpisah yaitu Mallophaga (kutu penggigit) dan Anoplura (kutu penghisap). Kutu penghisap sering pula disebut “tuma” oleh masyarakat Indonesia. Ahli entomologi dari Inggris, Jerman dan Australia hanya mengenali satu bangsa tunggal yaitu Phthiráptera, dengan empat anak bangsa (salah satunya Anoplura).
Pinjal termasuk dalam bangsa Siphonaptera. Beberapa suku yang terdapat di Indonesia antara lain Pulicidae, Ischnopsyllidae, Hystrichopsyllidae, Pygiopsyllidae, Ceratophyllidae dan Leptosyllidae. Pinjal tikus dan kucing yang umum ditemukan termasuk dalam Pulicidae.

III.3. Morfologi
Tungau (Mite) dan Caplak (Tick)
Tungau merupakan binatang yang sangat kecil seperti kutu dan tidak tampak oleh mata. Tungau adalah sekelompok hewan kecil bertungkai delapan yang bersama-sama dengan caplak, menjadi anggota superordo Acarina.
Sama seperti anggota arachnida lainnya (laba-laba, kalajengking dll.), tubuh tungau dan caplak terbagi menjadi dua bagian, yaitu: bagian depan disebut cephalothorax (prosoma) dan bagian belakang tubuh disebut abdomen (ophistosoma).Meskipun demikian, tidak terdapat batas yang jelas diantara dua bagian tubuh tersebut. Tungau dan caplak dewasa mempunyai alat-alat tubuh pada arachnida seperti khelisera dan palpus (alat sensori) yang terdapat di bagian , dan enathosoma/capitulum, dan empat pasang kaki (Kendall, 2008).
Sebagian besar tungau berukuran sangat kecil, memiliki panjang kurang dari 1 mm. Namun ada pula tungau besar yang dapat mencapai panjang 7.000 µm. Pada gnathosoma tungau terdapat epistoma, tritosternum (berfungsi dalam transport cairan tubuh), palpus yang beruas- ruas, khelisera, corniculi, hipostoma berseta yang  masing-masing sangat beragam dalam hal bentuk dan jumlah ruasnya tergantung pada kelompoknya.
Khelisera pada tungau teradaptasi untuk menusuk, menghisap atau mengunyah. Tubuh dilindungi oleh dorsal shield/scutum. Tungau memiliki stigma (alat pertukaran O2 dan CO2) yang letaknya bervariasi yaitu di punggung dorsal, antara pangkal kaki/ coxa 2 dan 3, di sebelah coxa ke tiga atau diantara khelisera.
Letak stigma menjadi kunci penting untuk membedakan bangsa tungau. Caplak memiliki ukuran lebih besar dari pada tungau. Panjang tubuh dapat mencapai 2.000-30.000 µm. Selain ukurannya, caplak dibedakan dari tungau berdasarkan letak stigma yang berada di bawah coxa (pangkal kaki) ke empat. Caplak juga memiliki karakter-karakter khas tersendiri pada hipostoma memiliki ocelli/mata, tetapi tidak memiliki epistoma, corniculi dan tritosternum. Caplak dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu caplak berkulit keras/ hard tick (Ixodidae) dan caplak berkulit lunak/soft tick (Argasidae) karena tidak memiliki scutum (Krantz, 1978; Evans, 1992).
Hipostoma pada caplak merupakan suatu struktur yang terdiri dari gigi- gigi yang tersusun teratur dan menonjol. Struktur inilah yang digunakan untuk menusuk tubuh induk semang ketika caplak menghisap darah. Hipostoma dilindumgi oleh khelisera (Vredevoe, 1997).


Kutu (Lice)
kutu adalah insekta yang tubuhnya pipih dorso-ventral, memiliki 6 ( 3 pasang) kaki, tidak bersayap, bersifat hospes  spesifik (hanya bisa hidup pada hospes  tertentu) dan umumnya pada tempat yang tertentu pula. Kutu dapat dibedakan menjadi : (1) kutu penggigit (“bitting lice”) yang kepalanya besar dan melebar, memakan epidermis kulit, remukan bulu, sisik bulu, kerak kulit dan sedimen yang mengering dan (2) kutu penghisap (“sucking lice”) dengan bentuk kepala yang kecil dan meruncing, makanannya adalah darah atau cairan. Dua kelompok kutu yaitu kutu penghisap/ tuma dan kutu penggigit memiliki ciri-ciri morfologiyang berbeda. Ukuran tubuh kutu penghisap mencapai 0,4-6,5 mm; kepala kutu penghisap biasanya lebih sempit daripada protoraksnya; sungut beruas-ruas; mata mereduksi dan bagian-bagian mulut haustellat. Tuma memiliki tiga stilet penusuk (dorsal, tengah dan ventral) pada bagian mulutnya dan satu rostrum pendek pada ujung anterior kepala (Borror dkk., 1996).
Dari tempat itu tiga stilet penusuk dijulurkan. Stilet tersebut kira-kira panjangnya sama dengan kepala dan apabila tidak dipakai dapat ditarik masuk ke dalam satu struktur seperti kantung panjang di bawah saluran pencernaan. Stilet dorsal berfungsi sebagai saluran makanan. Stilet tengah mengandung air liur dan berfungsi sebagai hipofaring, sedangkan stilet ventral sebagai penusuk utama diperkirakan berfungsi sebagai labium. Kaki-kaki kutu penghisap pendek dan memiliki cakar pengait yang termodifikasi untuk melekat pada induk semang. Kutu penggigit bertubuh pipih; berukuran tubuh 2-6 mm; bagian mulut mandibulat; mata majemuk mereduksi; lebar kepala sama atau lebih dengan protoraksnya; tarsi beruas 2-5 dan tidak memiliki cerci (Elzinga, 1978).



Pinjal (Flea)
Pinjal merupakan salah satu parasit yang paling sering ditemui pada hewan kesayangan baik anjing maupun kucing. Meskipun ukurannya yang kecil dan kadang tidak disadari pemilik hewan karena tidak menyebabkan gangguan kesehatan hewan yang serius, namun perlu diperhatikan bahwa dalam jumlah besar kutu dapat mengakibatkan kerusakan kulit yang parah bahkan menjadi vektor pembawa penyakit tertentu  (Anonim, 2015).
Pinjal berukuran kecil dengan panjang 1,5-3,3 mm dan bergerak cepat. Biasanya berwarna gelap (misalnya, cokelat kemerahan untuk kutu kucing). Pinjal merupakan serangga bersayap dengan bagian-bagian mulut seperti tabung yang digunakan untuk menghisap darah host mereka. Kaki pinjal berukuran panjang, sepasang kaki belakangnya digunakan untuk melompat (secara vertikal sampai 7 inch (18 cm); horizontal 13 inch (33 cm)). Pinjal merupakan kutu pelompat terbaik diantara kelompoknya. Tubuh pinjal bersifat lateral dikompresi yang memudahkan mereka untuk bergerak di antara rambut-rambut atau bulu di tubuh inang. Kulit tubuhnya keras, ditutupi oleh banyak bulu dan duri pendek yang mengarah ke belakang, dimana bulu dan duri ini memudahkan pergerakan mereka pada hostnya (Anonim, 2015).


III.4. Siklus Hidup
Proses reproduksi pada tungau dan caplak bervariasi. Siklus hidup yang dijalaninya berupa: telur-larva-nimpha-tungau/caplak dewasa. Larva tungau dan caplak hanya memiliki 3 pasang kaki. Larva caplak, setelah makan darah induk semang, akan tumbuh menjadi nimpha yang memiliki 4 pasang kaki. Nimpha makan darah dan akan tumbuh menjadi caplak dewasa. Setelah makan satu kali sampai kenyang, caplak dewasa betina akan bertelur kemudian ia mati. Caplak betina setelah kenyang menghisap darah dapat membengkak sampai 20-30 kali ukuran semula. Caplak memerlukan + 1 tahun untuk menyelesaikan satu siklus hidup di daerah tropis dan lebih dari satu tahun di daerah lebih dingin (Levine,1994).
Caplak dapat bertahan hidup selama berbulan- bulan tanpa makan jika belum mendapatkan induk semangnya. Caplak dapat hidup pada 1-3 induk semang berbeda selama fase pertumbuhannya sehingga dikenal dengan sebutan caplak berinduk semang satu, berinduk semang dua dan berinduk semang tiga (Vredevoe, 1997).
Kutu menjalani proses metamorfosa yang tidak sempurna, yaitu telur-nimpha-individu dewasa. Seluruh siklus hidup terjadi di tubuh induk semang. Telur kutu akan menempel pada rambut induk semang dengan bantuan zat perekat yang dihasilkannya. Sedangkan siklus hidup yang dijalani pinjal merupakan metamorfosa sempurna yaitu telur-larva-pupa-dewasa. Larva yang baru menetas tidak memiliki kaki. Fase pupa adalah fase yang tidak memerlukan makanan (Kadarsan dkk., 1983).

III.5.
Potensi Kerugian yang Ditimbulkan
        Dermatosis
Infestasi ektoparasit dapat mengakibatkan kerusakan kulit atau dermatosis sehingga menurunkan kualitas kulit. Infestasi ektoparasit juga menghilangkan rambut penutup dan menimbulkan suatu jaringan nekrotik pada kulit.

        Penyebaran Berbagai Penyakit.
            Ektoparasit berperan dalam penularan dan pemindahan berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa, dan rickettsia. Beberapa diantaranya bersifat zoonosis. Seperti yang dijelaskan diberbaga sumber, contohnya Caplak berinang satu menularkan agen penyakit secara transovarial (melalui telur) sedangkan caplak berinang dua dan tiga secara transtadial (dari larva ke nimfa dan dari nimfa ke caplak dewasa) (Soulsby, 1982). Peran caplak sebagai penular penyakit dari hewan ke manusia telah banyak diketahui. Beberapa penyakit yang ditularkan caplak pada manusia adalah demam Q, demam hemoragi Crimean-Congo, penyakit lyme. Penyakit yang dapat ditularkan oleh caplak pada sapi antara lain anaplasmosis, babesiosis, theileriosis, ensefalitis, ehrlichiosis, dan lain-lain. Penyakit babesiosis yang ditularkan berbagai caplak dapat menyebabkan kematian 80-90% sapi dewasa yang tidak diobati dan 10-15% ternak muda umur satu sampai dua tahun. Kerugian lain yang timbul akibat penyakit ini adalah penurunan berat badan, penurunan produksi susu.
            Beberapa penyakit yang ditimbulkan akibat infestasi caplak dan tungau antara lain: scrub thypus, rocky mountain spotted fever, tularemia, Lyme disease (Krantz, 1978). Infestasi pinjal bahkan pernah menyebabkan epidemi pes di daerah Boyolali, Jawa Tengah pada akhir 1960an. Hal ini disebabkan karena pinjal dapat menularkan bakteri Yersinia pestis, penyebab penyakit pes, dari tikus ke manusia (Kadarsan dkk., 1983).

        Iritasi dan Penurunan Produksi
Gigitan Ektoparasit menyebabkan iritasi dan kegelisahan sehingga aktivitas dan waktu istirahat inang akan berkurang. Gigitan juga akan memperbesar faktor “stress” yaitu banyak energi yang terbuang, sehingga akan menurunkan efisiensi makanan dan sekaligus menghambat laju pertumbuhan badan dan daya produksi.

III. 6
Pengendalian Ektoparasit
Pencegahan Penyakit Ektoparasit
Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan memperhatikan perkandangan yang baik misalnya ventilasi kandang, lantai kandang juga kontak dengan ternak lain yang sakit dan orang yang sakit. Sanitasi merupakan usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan perpindahan dari penyakit tersebut. Prinsip sanitasi yaitu bersih secara fisik, kimiawi dan mikrobiologi.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam sanitasi
1.      Ruang dan alat yang akan disanitasi
2.      Metiode sanitasi yang digunakan.
3.      Bahan/zat kimia serta aplikasinya.
4.      Monitoring program sanitasi.
5.      Harga bahan yang digunakan.
6.      Ketrampilan pekerja
7.      Sifat bahan/produk dimana kegiatan akan dilakukan.
Prinsip-prinsip dalam pencegahan penyakit yaitu pencegahan lebih baik daripada mengobati, ternak baru yang akan dimasukkan ke kandang harus dipastikan bebas dari berbagai penyakit, lingkungan kandang harus bersih dan kering, pembersihan kandang dan peralatan dilakukan setiap hari, pengendalian parasit internal (cacingan) dan eksternal (caplak, lalat dan pinjal). Jika ternak telah terinfeksi ektoparasit maka dapat dilakungan pembersihan dengan diambil satu-satu atau dengan cara Memandikan dalam hal ini tidak hanya dalam arti membersihkan dari kotoran yang melekat dibadan tapi juga sekaligus dilakukan pengobatan eksternal terhadap kuku, parasit, jamur, kudis, dan lain - lain yang sifatnya mengganggu kesehatan kulit. Untuk memandikan ternak sapi ini perlu disediakan fasilitas seperti dipping atau spraying. Akan tetapi hanya tindakan spraying yang sering dilakukan di peternakan tersebut, dan dipping tidak dilakukan dikarenakan tidak memiliki bak untuk memandikan ternak sapi. Dipping merupakan tindakan menyelamatkan ternak sapi ke dalam  ternak sapi yang berisi air dan zat kimia pembunuh eksternal parasit. Sapi akan berenang sepanjang bak tersebut dan badannya akan basah oleh air yang mengandung zat kimia.
Spraying adalah tindakan menyemprotkan zat kimia pembunuh eksternal parasit ke badan sapi secara mekanis maupun manual. Tujuan Dipping dan spraying pada dasarnya adalah sama yakni unutk membunuh eksternal parasit yang terdapat pada badan sapi. Akan tetapi, penggunaan dipping lebih ekonomis kerana cairan zat kimia dapat digunakan berulang-ulang, tetapi perlu diperhatikan apabila hujan turun dosis zat kimia akan menurun dan tidak efektif lagi akibat bertambahnya air. Keuntungan spraying adalah tidak berubahnya dosis zat kimia. Selain itu, penyemprotan dapat mencapai bagian tubuh yang mungkin terlewat apabila dilakukan dengan cara dipping, misalnya bagian telinga, dasar tanduk, dan bagian tepi lainnya.


Bab IV
Kesimpulan dan Saran
Beberapa kesimpulan yang diperoleh antara lain seringkali masyarakat atau peternak tidak mampu membedakan antara tungau (mite), caplak (tick), kutu (lice), dan pinjal (flea). Ektoparasit ternyata dapat memberikan dampak yang signifikan yang seringkali tidak disadari oleh peternak.
. Saran yang dapat diberikan antara lain pentingnya menjaga sanitasi dan hygiene peternakan dalam usaha meningkatkan pencegahan infestasi ektoparasit. Sebaliknya para peternak lebih memiliki pengetahuan terhadap ektoparasit ini sehingga dapat melakukan pencegahan. Pengobatan juga dapat dilakukan jika memang infestasi parasit telah terjadi.



Daftar Pustaka

Anonim. Tanpa tahun .Fleas.  http://www.vetmed.vt.edu/vth/sa/clin/cp_handouts/Flea_Information.pdf. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2015.
Akoso, T. B. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.
Borror, D. J., C. A. Triplehorn & N. F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Ed. 6. Penerjemah:S. Partosoedjono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Bowman, D.D (1999). Georgis’ Parasitology for Veterinery. 8th Ed. Saunders an Imprint of Elsevier Science.
Elzinga, R. J. 1978. Fundamentals of Entomology. Prentice Hall of India Private Ltd. New Delhi.
Evans, G. O. 1992. Principles of Acarology. Cambridge University Press, UK.
Kadarsan, S., A. Saim, E. Purwaningsih, H. B. Munaf, I. Budiarti & S. Hartini. 1983.Binatang Parasit. Lembaga Biologi Nasional-LIPI. Bogor.
Kendall, D. A. 2008. Mites & Ticks in Insect & Other arthropod. www.kendall-bioresearch.co.uk/mite. htm.
Krantz, G. W. 1978. A Manual of Acarology. 2nd ed. Oregon State University Book Store, Inc.Corvalis
Levine N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Terjemahan G. Ashadi Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. New York.
Vredevoe, L. 1997. Background Information on the Biology of Ticks..http://entomology.ucdavis.edu/ faculty/rbkimsey/tickbio.html.

PERAN CORPORATE UNIVERSITY DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEGAWAI BADAN KARANTINA INDONESIA MELALUI PPSDMKHIT

  PERAN CORPORATE UNIVERSITY DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEGAWAI BADAN KARANTINA INDONESIA MELALUI PPSDMKHIT   Iyan Kurniaw...